25 radar bogor

Kisah Munawir Marzuki, Tebus Dosa dan Angkat Derajat Ortu

MESKI berlatar belakang keluarga yang mengedepankan pendidikan, tak lantas membuat Munawir Marzuki jauh dari jerat narkoba.

Tahun 1990 an, bungsu dari lima bersaudara ini tertarik mencoba heroin atau putaw yang saat itu harganya terbilang murah, hanya Rp15 ribu per paket dan mudah dijumpai.

Bahkan, Munawir mengaku alat penggunaannya (jarum suntik;red) bisa ia dapatkan secara gratis. Saat itu usianya baru menginjak 16 tahun.

“Lingkungan tempat saya tinggal saat itu memang marak peredaran heroin,” kata Munawir kepada Radar Bogor.

Dia melanjutkan, seiring berjalannya waktu, Munawir pun harus menyelesaikan pendidikan formal dan melanjutkan ke jenjang perkuliahan AKPAR Makassar (Manajemen Usaha Perjalanan), dan secara bersamaan ia berhenti menggunakan heroin dan memfokuskan diri pada penyehatan fisik melalui olahraga untuk mengikuti seleksi Bintara Polri. “Saat itulah saya mengenal istilah sakaw,” tuturnya.

Singkatnya, kata Munawir, ia diterima bekerja di Polwiltabes Makassar, namun di sisi lain mengikuti perkuliahan di Fisipol (Ilmu Administrasi Negara) Univeritas Muhammadiyah Makassar.

“Karena saya pecandu kambuhan yang memiliki permasalahan dalam mengelola hidup, maka secara tidak hormat, saya dikeluarkan dari institusi kepolisian,” katanya.

Namun, meski gagal bekerja, Munawir tetap menyelesaikan kuliahnya hingga mendapatkan gelar sarjana. Kemudian, Munawir pun harus pasrah dimasukkan ke RSJ Dadi Makassar untuk melepaskannya dari jerat narkoba.

“Tingkat kecanduan saya saat itu cukup tinggi, pengalihan penggunaan heroin ke terapi subutex yang dianggap legal ternyata malah makin merusak kehidupan saya karena tidak menggunakannya sesuai panduan terapi,” ungkapnya.

Akhirnya, kata Munawir, kecanduannya dengan heroin mulai berkurang di tahun 2009 dan di 2010 memutuskan masuk rehabilitasi BNN.

“Saya lebih suka menyebut BNN sebagai ‘Rumah Tuhan’ atau ‘Kampus Kehidupan’, karena tempat ini sarat dengan kegiatan amal dan positif,” urainya.

Sejak saat itu, mengumpulkan amal, menebus dosa, dan mengangkat kembali derajat orang tua menjadi tekad Munawir.

Berangkat dari niat baik membantu sesama pecandu, maka Munawir pun diberi kesempatan untuk mengabdikan diri di BNN sebagai Staf Klinikal (konselor adiksi).

“Kesempatan itu saya gunakan sebaik-baiknya bukan untuk mengejar kekayaan rupiah, tapi sebagai sarana pengumpulan amal, penebusan dosa, juga kesempatan mengangkat kembali derajat orang tua,” tandasnya. (wil/d)