25 radar bogor

91 KPPS Meninggal Dunia, KPU Kaji Pelaksanaan Pemilu Serentak

JAKARTA – RADAR BOGOR,Kasus meninggalnya penyelenggara pemilu di lapangan menjadi catatan evaluasi tersendiri pada Pemilu 2019.

Keharusan menyelenggarakan lima level pemilihan dalam satu waktu membuat jajaran penyelenggara pemilu bertumbangan.

Bukan tidak mungkin muncul opsi pemisahan keserentakan.Catatan KPU hingga kemarin sore (22/4), sudah ada 91 jajaran KPU, khususnya penyelenggara ad hoc, yang meninggal setelah pemungutan suara.

Mayoritas di antara mereka adalah anggota KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara).

’’Juga ada 374 orang yang sakit,’’ terang Ketua KPU Arief Budiman di kantor KPU. Mereka tersebar di 20 provinsi.

Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus kematian jajaran KPU terbanyak. Di provinsi itu, tercatat ada 28 jajaran KPU yang meninggal. Disusul Jawa Tengah (17) dan Jawa Timur (14).

Sementara itu, kasus jajaran KPU sakit paling banyak terdapat di Sulawesi Selatan dengan 128 orang.

Pada saat hampir bersamaan, Bawaslu juga mengumumkan jajarannya yang gugur dalam tugas penyelengggaraan pengawasan pemilu.

’’Sementara ada 27 orang yang meninggal,’’ terang anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin di kantor Bawaslu kemarin. Mulai jajaran di kabupaten/kota hingga level TPS.

Untuk langkah jangka pendek, rencananya hari ini (23/4) tim Setjen KPU menemui pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membahas santunan bagi para penyelenggara pemilu yang gugur saat maupun setelah bertugas.

Sebab, tidak ada regulasi yang mengatur hal tersebut.Arief menuturkan, KPU sudah merumuskan usulan santunan bagi para petugas.

’’Besaran santunan untuk yang meninggal Rp30 juta–Rp 36 juta,’’ kata Arief.

Bagi jajaran yang sampai cacat, diusulkan santunan  maksimal Rp 30 juta bergantung jenis musibahnya. Sementara itu, bagi mereka yang terluka, diusulkan santunan maksimal Rp 16 juta.

Pembicaraan dengan Kemenkeu, lanjut Arief, tidak hanya berkutat pada nominal. Tapi juga mekanisme pemberian maupun penyediaan anggarannya. Sebab, di anggaran KPU tidak ada nomenklatur untuk pemberian santunan.

Bila Kemenkeu mengizinkan, KPU bisa saja mengambil anggaran dari pos-pos yang berhasil dihemat selama penyelenggaraan pemilu.Wacana meninjau ulang keserentakan pemilu juga direspons Mendagri Tjahjo Kumolo.

Menurut dia, ada sejumlah peristiwa selama rangkaian pemilu yang harus dikaji. Salah satunya terkait dengan desain keserentakan pemilu. Sebab, model pemilu yang menggabungkan lima surat suara berakibat banyaknya petugas KPPS yang meninggal di berbagai tempat.

’’Evaluasi yang menyangkut putusan MK. Keserentakan itu apakah harus hari tanggal (yang sama) atau bulan yang sama,’’ terang Tjahjo di kompleks istana kepresidenan Jakarta kemarin.

Dia belum bisa membeberkan desain yang tepat.

Sebab, desain itu harus dikaji bersama dan meminta pertimbangan MK.Selain keserentakan, masalah yang dinilai perlu dikaji adalah masa kampanye.

Tjahjo menilai masa kampanye sampai enam bulan cukup lama. Dampaknya pun beragam, mulai anggaran hingga efek sosialnya. ’’Saya kira yang penting bagaimana membangun sebuah sistem pemilu yang demokratis, lebih efektif, lebih efisien,’’ terangnya.

Sementara itu, soal penanganan bagi petugas KPPS yang gugur, Tjahjo menunggu laporan resmi KPU dan Bawaslu.

Menurut dia, penghargaan sangat mungkin diberikan. ’’Saya yakin pemerintah akan memberi penghargaan, tetapi kalau soal anggaran nanti biar dari Bawaslu fixed-nya berapa yang sakit, berapa yang gugur, termasuk KPPS-nya, termasuk anggota Polri-nya,’’ ungkapnya.

Tjahjo mengatakan, saat ini pemerintah masih menunggu prosesnya benar-benar tuntas.

Evaluasi mungkin digelar pemerintahan dan DPR yang baru.

’’Kami tidak ingin mendesak dulu. Tapi, setelah pengumuman KPU resmi nanti, kemungkinan awal pemerintahan baru akan membahas bersama dengan DPR,’’ tambahnya.

Terpisah Koordinator Democracy Electoral Empowerment and Partnership (DEEP) Ramdhan Nugraha mengatakan, berdasakan hasil pengawasan DEEP pada pelaksanaan Pemilu 2019 ada dua masalah krusial yang muncul.

Yakni  logistik Pemilu dan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

“Selain itu, masalah yang ditemukan seperti durasi pembukaan TPS, DPT yang tidak terpasang hingga tidak ada pengawas yang bertugas di TPS,” ujarnya saat diskusi bersama di kantor DEEP di Cibinong, kemarin (22/4).

Dalam diskusi tersebut, DEEP juga mengundang KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Bogor. Soal logistik, KPU Kabupaten Bogor, berkilah bahwa semua distribusi berasal dari KPU pusat.

Jadi, segala kekurangan bukan menjadi tanggung jawab daerah.

“Kami sudah meminta segala kekurangan terutama surat suara kepada pusat. Namun, tidak direspon,” tegas Ketua KPU Kabupaten Bogor, Ummi Wahyuni.

Ummi mencatat, durasi pembukaan TPS yang terlalu lama berimplikasi pada pemungutan suara sehingga penyelesaian rekapitulasi di masing – masing TPS baru selesai pada pukul 02.00 dini hari.

Hingga saat ini, rekapitulasi baru hanya menyelesaikan satu kecamatan.  “Baru Kecamatan Sukajaya yang selesai secara keseluruhan,” singkatnya.Dari sisi pengawasan, Ketua Bawaslu Kabupaten Bogor, Irvan Firmansyah mengatakan, kekurangan surat suara jadi cerita baru dalam Pemilu serentak kali ini. Ia mengatakan, kekurangan yang paling signifikan terjadi di Kecamatan Sukaraja.

“Kami juga sedang menginvestigasi dua dugaan pelanggaran pemilu.

Satu soal politik uang, satu lainnya dugaan adanya pengarahan pencoblosan.

Selebihnya adalah permasalahan dokumen, baik DPT atau DPTb,” jelasnya.

Direktur DEEP Yusfitriadi, menambahkan  bahwa keberhasilan pemilu sekarang ini keikursertaan  masyarakat. Dimana tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemilu serentak kali ini sebanyak 80 persen.

“Untuk itu delegitimasi hasil pemilu hanya rakyat yang bisa melakukannya,” tegasnya. (dka/d)