BOGOR-RADAR BOGOR, Angka perceraian di Bogor masih cukup tinggi. Salah satu penyebabnya masih maraknya pernikahan dini. Dalam dua bulan terakhir, angka perceraian di Kabupaten Bogor cukup fantastis.
Jumlah kasusnya mencapai 1.662 pengajuan. Untuk Kota Bogor, pada Januari dan Februari mencapai 170 untuk cerai gugat dan 60 untuk cerai talak. Sedangkan di Kabupaten Bogor rupanya lebih banyak, yakni 1.013 untuk gugat dan 303 untuk talak.
Jika dirata-rata dari 1.662 kasus selama dua bulan terakhir, maka setidaknya ada 28 wanita yang menjanda di Kota dan Kabupaten Bogor dalam sehari. Data yang dihimpun dari Pengadilan Agama Kelas 1A Cibinong, sejak awal Januari hingga akhir Februari ada 1.316 pasangan yang mengajukan cerai. Terdiri dari cerai talak 303 kasus dan cerai gugat 1.013 kasus.
Sedangkan di Pengadilan Agama Bogor Kelas 1A ada 346 kasus pengajuan cerai. Terdiri dari cerai talak 76 kasus dan cerai gugat 270 kasus. Namun jumlah itu belum termasuk ajuan gugat cerai yang masih diproses pada tahun kemarin di Pengadilan Agama Kelas 1A Cibinong dan Pengadilan Agama Bogor Kelas 1A.
Menanggapi hal itu, Kepaniteraan Muda Pengadilan Agama Kelas 1A Cibinong, Teti Sunengsih menuturkan, dari 1.316 kasus pengajuan perceraian itu didominasi diajukan kaum perempuan. Rata-rata yang melakukan gugat cerai itu pada usia cukup umur antara 30 hingga 40 tahunan.
Teti menjelaskan, angka pengajuan perceraian di Kabupaten Bogor cukup tinggi. Menurutnya, ada beberapa faktor yang dominan penyebab perceraian bisa terjadi. Seperti tidak adanya keharmonisan, tidak adanya tanggung jawab, ekonomi, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), media sosial hingga lain sebagainya.
“Kebanyakan karena itu. Tetapi ada juga yang karena perselingkungan hingga kurangnya rasa puas dalam berhubungan intim,” ujarnya seperti dikutif dari metropolitan.
Namun, lanjutnya, dari gugatan perceraian itu tidak semuanya direalisasi Pengadilan Agama. Sebab sebelum perceraian diputus, pihaknya melakukan mediasi terlebih dahulu kepada kedua belah pihak, apakah hubungan tersebut masih bisa dipertahankan atau memang benar-benar ingin bercerai.
“Jadi ada tahapannya. Kita lakukan mediasi antara kedua belah pihak. Syukur-syukur masih bisa diperbaiki dan tidak jadi cerai. Kebanyakan yang mengajukan berusia 30-40 tahun,” ujar Teti.
Hal serupa juga terjadi di Kota Bogor. Menurut Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Bogor Kelas 1A, Agus Yuspian, angka perceraian yang diajukan perempuan masih tinggi. Penyebabnya paling banyak karena faktor ekonomi. “Perempuan yang mendominasi pengajuan cerai di Kota Bogor. Setiap harinya tiga majelis kami menangani 40 perkara. Dan khusus tahun ini kami sudah menangani 337 kasus perceraian,” kata Agus.
Sementara psikolog lulusan Universitas Indonesia, Ajeng Raviando, menjelaskan selain penyebab terbesar meningkatnya angka perceraian karena hubungan yang sudah tidak harmonis, juga pasangan tidak bertanggung jawab, ada pihak ketiga dan faktor ekonomi. Para pasangan suami-istri masa kini menghadapi tantangan yang berbeda dibanding pasangan generasi sebelumnya.
Tantangan-tantangan tersebut juga menjadi penyebab meningkatnya angka perceraian suami-istri masa kini. “Tahun pertama itu sudah bisa rentan karena penuh percobaan. Sebelum menikah, banyak ekspektasi dan tahun pertama mulai melihat realitasnya,” kata Ajeng.
Menurutnya, setelah melewati lima tahun pertama dan jelang sepuluh tahun bersama, juga ada cobaan lain yaitu bosan karena rutinitas. Pasangan masa kini menghadapi tiga tantangan besar. Pertama, kesulitan melakukan komunikasi secara efektif. “Sekarang sering terjadi phubbing, di mana kita tidak melakukan bicara face to face dan hanya sibuk dengan gadget masing-masing,” ucapnya.
Setelahnya, sambung Ajeng, masalah kedua adalah ekspektasi tentang pernikahan. Terutama dengan perkembangan media sosial. Banyak pasangan yang cepat merasa cemburu dengan pasangan lain di media sosial.
Mereka melihat kegiatan sehari-hari pasangan yang sekarang sudah banyak terbuka di berbagai media sosial serta memiliki ekspektasi yang tinggi saat menikah. Pasangan perlu diingatkan bahwa setiap orang berbeda dan setiap hubungan juga akan berbeda.
Ketiga adalah minimnya waktu berkualitas bersama pasangan. Suami-istri masa kini kerap kesulitan melepaskan diri dari gawai sehingga mengurangi waktu berkualitas saat sedang bersama.
Tak hanya itu, rutinitas juga dapat mengurangi waktu berkualitas dan membuat hubungan menjadi membosankan. “Waktu kita bisa bersama dengan pasangan jadi berkualitas atau tidak. Terkadang terlupakan karena terjebak dengan rutinitas,” ujar Ajeng.
Hal berbeda diungkapkan psikolog Kasandra Putranto. Menurutnya, pernikahan dini menjadi penyebab utama perceraian. Saking maraknya pernikahan dini, Indonesia menjadi salah satu negara penghasil perceraian tertinggi.
“Pada dasarnya Indonesia adalah salah satu negara penghasil perceraian tertinggi. Termasuk di dalamnya adalah perceraian dini, yang sebagian besar disebabkan karena pernikahan dini,” kata Kassandra.
Tentunya pernikahan dini memiliki berbagai macam dampak negatif dalam suatu hubungan. Salah satunya ketidaksiapan mental seseorang. Tentunya di usia yang masih belia, seorang anak masih ingin hidup bebas dan belum memiliki kematangan emosional.
“Kondisi ini disebabkan karena ketidaksiapan mental pasangan. Dalam usia fisik dan mental yang masih muda, mereka belum memiliki kematangan emosional. Akhirnya mereka menjadi tidak siap dengan berbagai konsekuensi dari pernikahan dini,” ucapnya.
Selain ketidaksiapan mental, faktor ekonomi dan pekerjaan juga turut mengambil andil dalam kasus perceraian dini. Tentunya remaja usia muda sebagian besar belum memiliki pekerjaan dan belum memiliki penghasilan sendiri.
Dalam konteks itu, faktor ketimpangan pendapatan antara suami dan istri. Tak sedikit pria yang berpenghasilan lebih rendah daripada istrinya sering mengalami perseteruan dalam rumah tangga karena masalah penghasilan.
Sementara masalah ekonomi keluarga yang pada dasarnya kurang mampu juga menjadi penyebab utama perceraian. Keluarga tersebut akan terus-menerus bertikai karena kebutuhan ekonomi yang tidak mencukupi kehidupannya sehari-hari.
“Semua kembali kepada profil kepribadian. Ketika kepribadian tidak matang, berapa pun nilai ekonomi yang diperoleh bisa menjadi tidak cukup,” tandasnya.(mul/d/rez/mam/run)