25 radar bogor

Musyawarah Terakhir Buntu, Jalur R3 Masuk Pengadilan Lagi

Sejumlah anak-anak bermain di area penutupan akses Jalur R3. nelvi/radar bogor.

BOGOR-RADAR BOGOR, Upaya musyawarah terakhir permaslahan Jalan Regional Ring Road (R3) berakhir buntu. Kedua pihak gagal mencapai kata sepakat lantaran hasil appraisal yang telah dilakukan dianggap cacat dalam prosesnya.

Pembahasan untuk menemukan kata mufakat antara Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor dengan pemilik lahan R3 itu sudah dilakukan sebanyak lima kali.

Musyawarah pertama yang dilakukan pada 8 Februari menuai protes baru, karena hasil appraisal hanya disampaikan secara lisan kepada pemilik lahan. Akhirnya dilakukan musyawarah kedua, saat itu Pemkot memberikan appraisal secara tertulis kepada yang bersangkutan.

Lalu pada musyawarah ketiga kalinya, pemilik lahan mengaku keberatan karena isi kajian tidak memasukan jumlah uang kompensasi selama tahun 2014 di dalamnya.

Lantas Pemkot melakukan musyawarah kembali, kali ini pertemuan yang ke-empat, hanya saja berlangsung nihil karena Pemkot tidak mengantongi penjelasan soal dana kompensasi dari tim Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

Lantas dilakukan musyawarah terakhir, Senin (11/3/2019), dengan harapan keduanya sama-sama sudah sepakat dengan isi appraisal.

Hanya saja, keputusannya tetap tidak berbuah hasil karena Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (DPUPR) Kota Bogor, tidak memberikan Surat Perintah Kerja (SPK) kepada KJPP untuk menghitung kompensasi.

Kuasa Hukum Pemilik Lahan R3, Herli Hermawan mengatakan, Pemkot Bogor dalam hal ini DPUPR sebagai pemberi kerja kepada KJPP dinilai tidak fatsun terhadap putusan Pengadilan Negeri Bogor nomor 64/Pdt.G/2018/PN BOGOR.

Sebab, lanjutnya, DPUPR tidak menjalankan pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa para tergugat atau Pemkot Bogor dihukum untuk menghitung pembayaran kompensasi mulai bulan Juni 2014 hingga akhir tahun 2018.

“Tergugat menentang putusan pengadilan, itu baru kami ketahui pada musyawarah tadi,” ujarnya kepada Radar Bogor.

Dalam Surat Perintah Kerja (SPK) appraisal, sambung dia, DPUPR tidak memerintahkan KJPP untuk menghitung kompensasi atau ganti kerugian yang dimaksud dalam akta van dadding atau akta perdamaian.

Herli tak mengetahui apa yang menjadi dasar PUPR melakukan hal itu. Padahal itu wajib ditaati dan dipatuhi Pemkot sebagai para penggugat. “Artinya hasil appraisal telah cacat dalam prosesnya, ini yang tidak bisa kami terima,” kesalnya.

Karena tak ada kata mufakat atas musyawarah terakhir itu, maka pihak kuasa hukum akan mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Bogor.

“Kami dikasih waktu berdasarkan peraturan perundang-undangan selama 14 hari untuk mengajukan keberatan ke PN Bogor, saat ini kita sedang godok dulu dengan tim,” terangnya.

Sementara itu, Sekda Kota Bogor Ade Sarip Hidayat mengungkapkan, sebetulnya akta perdamaian itu sudah dijadikan rujukan dan dilampirkan dalam SPK kepada tim appraisal. Hanya saja memang tidak dibuat detail untuk penghitungan kompensasi.

“Secara detail tidak dibuat dalam SPK oleh PUPR, kalaupun akta van dading itu dijadikan rujukan dan dilampirkan dalam SPK kepada appraisal,” katanya.

Jika kuasa hukum pemilik lahan ingin mengajukan keberatan kepada PN Bogor atas hasil appraisal yang telah dilakukan, kata Ade, maka Pemkot Bogor akan mengikuti prosesnya berdasarkan aturan. “Itu hak nya, kita ikuti saja,” imbuhnya.

Ade juga meminta agar masyarakat, khususnya yang terdampak penutupan R3, untuk sabar menunggu proses yang berjalan itu selesai.

“Mohon pengertiannya, insyaallah proses hukum dilaksanakan 14 hari kedepan dan nanti yang memutuskan pengadilan,” pungkasnya. (gal/c)