25 radar bogor

Ultah

Dahlan Iskan

DisWay berumur 1 tahun. Besok lusa.

Tanggal 9 Februari. Berarti setahun penuh saya tidak libur: setiap hari menulis artikel. Tanpa absen. Pun sehari.

Penerbit Noura Book menerbitkan buku. Menandai ulang tahun tersebut. Isinya beberapa tulisan di DisWay. Mengambil tema: pribadi-pribadi yang menginspirasi.

Saya sendiri kaget. Tiba-tiba DisWay sudah satu tahun. Berarti sudah 360 artikel saya tulis. Sejak terbit pertama setahun yang lalu.

Ide DisWay ini murni dari teman-teman. Teman dekat dan jauh. Yang menginginkan saya tetap menulis. Biar pun tidak di JP lagi.

Mereka memang mulai tahu: saya dan anak saya, Azrul Ananda, tidak lagi di Jawa Pos. Berakhir.

Selesai.

Dulu saya biasa menulis di koran itu. Catatan Dahlan Iskan. Setidaknya seminggu sekali. Kadang seminggu beberapa kali. Kalau lagi ada peristiwa besar. Yang perlu diberi catatan.

Inisiatif catatan itu kadang dari saya sendiri. Sering juga atas permintaan redaksi. Begitu seringnya saya menulis di Jawa Pos sampai menimbulkan kesan negatif. Ada yang bilang itu karena ‘koran-korannya sendiri’. Bukan karena mutu.

Azrul Ananda juga menulis seminggu sekali. Tiap hari Rabu. Di rubriknya yang terkenal: Happy Wednesday. Yang pembacanya golongan anak muda. Yang kumpulan artikelnya juga sudah terbit dalam bentuk buku.

Pembaca tulisan saya lebih dewasa (baca: lebih tua).

Mereka itulah. Yang menurut teman-teman tadi menginginkan saya terus menulis. Tentu mereka tahu: saya tidak mungkin lagi menulis untuk Jawa Pos.

Tapi di zaman digital ini semua orang bisa bikin ‘koran’. Bisa menulis sendiri, diedit sendiri, diterbitkan sendiri.

Bahkan bisa menulis sesering apa pun. Tanpa ada yang bilang ‘internet-internetnya sendiri’.

Tapi saya tidak pernah punya media online. Pun tidak tahu cara membuatnya.

Memang banyak online seperti milik saya. Itu milik orang lain. Menggunakan nama saya.
Itu biasa di dunia online. Saya juga tidak mempermasalahkannya. Toh isinya baik semua.

Lalu gimana dong?

“Saya yang akan bikinkan medianya,” ujar mas Joko Intarto. Tiba-tiba. “Kapan saja Pak Boss mulai menulis medianya siap,” katanya.

Maksudnya: media online.

Ia selalu memanggil saya ‘Pak Boss’. Kebiasaan lama. Ketika saya masih memimpin Jawa Pos. Dan anak Grobogan, Jateng, itu masih menjadi wartawan di sana.

Joko Intarto memang penuh ide. Penuh inisiatif. Dan tergolong ‘man of action’. Orang yang tidak hanya suka bicara. Atau hanya mimpi. Tapi langsung berbuat. Hampir saat itu juga. Tidak bisa diam. Atau mengambang.

Maka Joko langsung minta kepada saya: apa nama media itu. Setengah menodong.

Saya sebenarnya tidak sampai hati membebani Joko Intarto. Alumni Undip Semarang itu. Ia lagi sibuk-sibuknya. Bisnisnya lagi memerlukan perhatian sepenuh jiwa raganya.

Sejak berhenti dari Jawa Pos sarjana hukum ini menekuni bisnis baru. Yang terkait dengan internet. Yakni menyediakan jasa live streaming. Setahun yang lalu bisnisnya itu belum lancar benar. Masih harus berjuang keras untuk mendapatkan pasar.

Tapi saya yakin bisnisnya itu akan bagus. Pertama, itulah bisnis yang cocok dengan zaman ini. Kedua, di tangan orang seperti Joko Intarto, apa pun akan jalan. Ia tipe orang yang sungguh-sungguh. Yang tidak bisa diam. Yang mau tangannya kotor. Bukan tipe orang yang hanya bisa memerintah. Ia biasa turun tangan sendiri. Mengerjakan sampai yang sepele-sepele.

Dan yang terutama: bisa tidak tidur dua hari dua malam. Sejak muda dulu. Sampai umurnya sudah lebih 50 tahun sekarang ini.

Mungkin karena badannya kecil. Begitu saya sering bercanda. Kebutuhan tidurnya tidak banyak. Kebutuhan makannya pun sedikit. Orang yang banyak makanlah yang suka tidur.

Soal nama itu saya sendiri tidak tahu: harus diberi nama apa. Bahkan saya sebenarnya belum sepenuhnya siap benar. Untuk memulai menulis lagi.

“Sudahlah. Mulai saja,” desak Joko Intarto. “Seminggu sekali saja dulu,” desaknya.

Maka saya malu. Sayalah dulu yang seperti itu. Mendesak-desa orang lain. Termasuk mendesak Joko Intarto. Saat ia masih menjadi anak buah saya. Agar mau melakukan sesuatu. Kini kok saya yang dalam posisi didesak-desak.

Maka jadilah.

Disusunlah daftar calon nama. Ada usulan biasa: Catatan Dahlan Iskan. Seperti nama rubrik saya di koran dulu. Tapi saya merasa tidak cocok. Itu sudah masa lalu. Kok seperti tidak bisa move on. Ahok saja ganti BTP.

Akhirnya Joko Intarto sendiri yang menemukan nama baru. Yang langsung saya setujui: DisWay. Diambil dari judul buku tentang saya. Berjudul DI’s Way. Yang ditulis oleh Aris Darmawan. Sebuah buku yang sangat menarik. Melihat saya dari sisi yang beda. Aris Darmawan adalah mantan wartawan Kaltim Post. Koran yang saya bidani dengan semangat melawan iklim. Iklim apa saja: internal dan eksternal.

Aris Darmawan wartawan penuh ide. Prestasinya sangat baik. Tapi memilih berhenti menjadi wartawan. Justru ketika masih sangat muda. Dan masih sedang berada di puncak.

Beres.

Lalu ditodongkanlah senjata terakhir: kapan dimulai.
Saya tidak ragu lagi.

“Minggu depan. Tanggal 9 Februari 2018,” kata saya.

Itulah Hari Pers Nasional.

Sekalian untuk menandainya. Yang tahun itu puncak acaranya dilangsungkan di Padang. Yang saya belum tentu bisa hadir. Saya belum sembuh benar. Dari sakit yang tiba-tiba. Yang sangat mematikan: aorta dissection.

Aorta saya pecah. Pembuluh darah utama itu pecah sejak dari dekat jantung. Pecahnya memanjang sampai 50 cm. Lantaran tidak segera tertangani.

Waktu itu saya lagi bersama keluarga. Di Madinah. Umroh. Bersama istri, anak, menantu dan cucu. Pertama kali bisa umroh bersama seluruh keluarga. Secara lengkap.

Akhirnya toh tidak bisa umroh bersama. Saat masih di Madinah dada saya sesak. Punggung sakit. Tidak bisa bernafas. Sangat tersengal. Kalau bernafas harus sambil mendongak.

Saya merasa kena serangan jantung. Begitu tanda-tanda yang saya tahu. Dari sepupu saya yang meninggal seminggu sebelumnya.

Saya minta diantar ke dokter. Ternyata bisa diantar ke RS di Madinah. Tidak ditemukan apa-apa di jantung saya. Dokter mengatakan jantung saya istimewa.

Tapi pemeriksaan terlalu fokus di jantung. Salah saya sendiri. Mendesak dokter agar segera memeriksa jantung saya. Setelah disuntik penenang, dan disusul suntik morfin, rasa sakit berkurang. Saya diminta meninggalkan RS. Banyak pasien yang antre.

Saya putuskan tidak berangkat ke Mekah. Tidak kuat. Saya putuskan: Anak dan cucu tetap ke Mekah. Umroh. Azrul belum pernah ke Mekah. Saya dan istri tinggal di Madinah.

Anak wedok saya, Isna Iskan, bikin keputusan lain: beli tiket baru. Untuk bapak dan ibunya. Madinah-Surabaya. Juga bikin reservasi: di rumah sakit National Hospital Surabaya.

Instruksinya: begitu mendarat bapaknya ini harus langsung ngamar di rumah sakit.

Itulah yang saya lakukan. Sepanjang penerbangan memang masih sesak. Dan nyeri punggung. Dan tidak bisa BAB. Sudah lima hari. Mendarat di Surabaya dengan selamat.

Tiga hari saya ngamar di rumah sakit itu. Tidak ditemukan mengapa saya sesak dan nyeri. Saya putuskan pulang. Malam tahun baru di rumah. Berdua dengan istri. Yang selalu membikinkan tajin.

Akhirnya saya berhasil bab. Setelah melakukan meditasi. Setelah obat-obat dari dokter tidak menolong. Termasuk segala macam yang dimasukkan lewat dubur itu.

Tapi hanya sekali itu bisa bab.Lima hari berikutnya tidak bisa lagi.

Teman baik saya di Singapura, Robert Lai, lantas memaksa saya. “Sudah saya belikan tiket ke Singapura. Tinggal berangkat,” tulisnya di WeChat. “Rumah sakit, dokter dan penjemputan sudah saya atur. Saya sendiri yang jemput,” tambahnya.

Robert Lai pula yang dulu mengurus saya. Berbulan-bulan. Di Singapura, di Yantai, di Tianjin. Saat saya terkena kanker hati stadium empat. Yang akhirnya harus menjalani transplantasi hati.

Kali ini saya berangkat sendiri ke Singapura. Toh tinggal turun pesawat. Sudah ada yang menjemput.

Di Singapura itulah diketahui aorta saya pecah. Langsung masuk ICU. “Bapak beruntung. Tidak meninggal saat di Madinah. Atau saat dalam penerbangan jarak jauh Madinah-Surabaya,” ujar dokter di sana.

Itu setahun yang lalu.

Saya pun ternyata bisa berangkat ke Padang. Untuk puncak acara Hari Pers Nasional. Yang panitia menyediakan dokter. Khusus untuk menjaga saya selama di Padang.

Tulisan tentang sakit yang mematikan itulah topik DisWay di awal-awal terbit. Di media saya yang baru: Disway.id. Yang dibidani Joko Intarto.

“Habis JP terbitlah DisWay,” tulis Joko dalam sebuah artikel Facebooknya.

Yang terjadi kemudian: ternyata saya bisa menulis tiap hari. Untuk DisWay. Setahun penuh.

Bisnis layanan live streaming milik mas Joko Intarto juga berkembang pesat.

Tidak terganggu dengan DisWay. Setahun terakhir ini Mas Joko sampai kuwalahan. Ia telah menemukan bisnisnya sendiri. Itulah salah satu TV masa depan. Saya bersyukur. DisWay tidak mengganggu bisnisnya.

Saya sendiri tidak pernah kekurangan ide tulisan. Apalagi
Topiknya lebih banyak perjalanan saya di luar negeri. Amerika, Tiongkok, Lebanon, Turki. Dan mana saja.

Kebetulan saya harus sering ke Amerika. Untuk memulai sesuatu yang baru di sana. Yang mungkin akan berhasil. Atau tidak berhasil. Wallualam.

Sesekali saya menulis perkembangan dalam negeri. Sesekali saja. Agar aman. Tidak beresiko politik.

Hampir 100 persen semua tulisan di DisWay saya buat di HP. Hanya satu tulisan yang saya buat di laptop. Saat HP saya rusak: kelindas ban mobil.

Saya menjadi terbiasa menulis di HP. Dengan satu ibujari. Tangan kiri. Karena itu saya tidak mau membeli HP yang lebar. Yang ibu jari saya sulit menjangkau huruf-huruf yang jauh. Seperti huruf ‘p’ atau angka ‘0’. Yang letaknya di sisi paling kanan layar HP itu.

Dengan menulis di HP fleksibilitasnya juga tinggi. Bisa menulis di mana saja. Terutama di pesawat terbang. Mungkin hampir 50 persen tulisan di DisWay saya buat di atas pesawat. Lantaran begitu banyaknya terbang.

Untuk jurusan Surabaya-Jakarta adalah jarak yang paling pas. Begitu pesawat mencapai ketinggian tertentu saya buka HP. Mulai menulis. Saat pesawat akan landing tulisan selesai.

Suatu saat saya kepepet. Dalam perjalanan mobil di pedalaman Amerika. Mas Joko Intarto mengingatkan: tulisan ditunggu. Sudah jam 9 malam waktu Indonesia.

Saya pun minta John Mohn meminggirkan mobil. Ialah yang lagi mengemudi hari itu. Saya hampir selalu dengan John Mohn di Amerika. Sudah seperti keluarga. John lah yang dulu menampung anak saya. Azrul Ananda. Tinggal di rumahnya. Selama sekolah SMA di pedalaman negara bagian Kansas.

Saya minta John istirahat dulu. Cari kopi. Saya minta diturunkan di situ. Mumpung saya lihat ada pohon rindang sekali. Di sebuah taman di kota kecil sekali. Saya bisa duduk di bawah pohon itu. Musim panas sudah dekat. Terasa sejuk di bawah pohon itu.

Di situlah saya membuka HP. Mulai menulis artikel. Untuk DisWay edisi besok paginya.

John sudah selesai minum kopi. Sempat melihat saya cuek di bawah rindangnya dedaunan. Duduk bersandar ke pohon besar. Asyik dengan HP. John pun memotretnya. Saya tidak tahu.

John Mohn adalah guru jurnalistik. Saat anak saya tinggal di rumahnya. John masih memiliki surat kabar di daerah itu. Namanya: Ellinwood Leader. Chris Mohn, isterinya, yang menjadi pemimpin redaksinya.

Azrul menjadi wartawan karena mereka itu. Bukan karena saya. Bapaknya ini justru ingin menjauhkan anaknya dari dunia jurnistik. Dengan mengirimnya jauh-jauh ke Amerika. Tidak disangka undian penempatan itu menentukan nasibnya: mendapatkan bapak angkat yang jurnalis.

Meski tidak lagi di surat kabar ternyata saya tetap bisa asyik berjurnalistik.

Melalui media baru ini. DisWay ini. Yang menurut mas Joko Intarto sudah dibaca lebih dari lima juta orang. Sudah melebihi pembaca saya saat di koran dulu. Mungkin karena jangkauannya yang lebih luas. Saya sendiri sering bertanya dalam hati: mengapa saya begitu asyik berjurnalistik. Oh.. Mungkin karena itulah darah daging saya. Bisnis pun bermula dan berbasis di jurnalistik.

Koran boleh mati. Tapi jurnalistik akan terus hidup.

Hidup jurnalistik! (Dahlan Iskan)