25 radar bogor

BTP

Dahlan Iskan

HATI saya terombang ambing. Kadang pro Ahok. Kadang pro Vero. Kadang bela Ahok. Kadang bela ulama. Kadang senang Ahok. Kadang jengkel Ahok. Kadang percaya garis tangan. Kadang apalah itu garis tangan.

Saat lagi pro Ahok saya kesal pada Vero. Saat pro Vero saya sangat terharu pada sikapnya: yang tidak bicara apa pun tentang omongan, fitnah, hinaan padanya. Demi nama baik mantan suaminya.

Tapi tiba-tiba Ahok hilang. Atau menghilang.
Ada yang bilang Ahok menenangkan diri. Setelah badai menimpanya dari segala arah.

Ada yang bilang Ahok lagi asyik dengan mainan barunya.
Saya sudah terlanjur tidak percaya dua versi itu.

Tapi saya suka satu hal. Dari begitu banyak lalu-lintas medsos. Yang seperti banjir. Datang tanpa saya undang.
Sebetulnya saya suka dua hal. Tapi biarlah yang saya tulis yang satu ini dulu.

Soal BTP.

Sebagai pengganti panggilan Ahok.

Ide mengganti panggilan itu sebenarnya cerdas sekali. Secara ilmu komunikasi. Kalau Ahok memang masih menginginkan dunia politik.

Sebagai bukti bahwa Ahok bukanlah orang yang kaku. Yang hanya maunya sendiri.
Ia orang yang bisa berubah. Bahkan mau nama panggilannya pun diganti.

Tidak ada penjelasan konsultan politik mana yang mengusulkan itu. Atau bahkan ia sendiri yang menghendakinya.

“Saya tidak mau lagi dipanggil Ahok,” katanya. “Panggil saya BTP,” tambahnya.

Ahok telah berubah. Menjadi begitu luwesnya. Orang yang mau mengganti nama adalah orang yang paling fleksibel.

Secara ilmu komunikasi Ahok tentu berharap dua hasil. Setidaknya, konsultannya berharap begitu. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah berubah. Bukan Ahok yang dulu. Yang keras. Yang kaku. Yang ucapannya selalu tajam.

Ia orang yang bisa berubah. Dan mau berubah.

Hasil lain yang diharapnya: Ahok ingin bahwa ia adalah ‘Indonesia’. Bukan ‘Hokkian ren’. Atau ‘Kwangtung ren’. Atau ‘Nanfang ren’.

BTP adalah Basuki Tjahaya Purnama. Bukan Zhong Wan Xue (钟万学).

Ahok ingin mengubah garis tangannya.

Bukankah itu bagian dari garis tangan bahwa ia dipanggil Ahok? Sejak kecil?

Tidak semua anak Tionghoa  mendapat nama panggilan seperti itu. Yang dimulai dengan huruf A di depannya. Seperti Ahok. Acai. Ahong. Ahui. Alai. Dan seterusnya.

Panggilan seperti itu khas orang Hokkian. Atau orang Nanfang. Orang dari bagian selatan Tiongkok. (Nan=Selatan).

Orang utara tidak mengenal itu. Orang Beijing, Tianjin, Dongbei tidak pernah mengenal nama panggilan yang dimulai dengan huruf A.

Cucu saya yang bernama Icha pernah mendapat nama panggilan Xiao Huai Dan (小坏蛋). Gara-gara sulit diatur. Saat umur lima tahun. Saat ikut menunggu saya di RS Tianjin. Icha tidak mendapat nama panggilan A-cha. Itu karena Tianjin di wilayah utara.

Ada cerita humor. Di buku pelajaran bahasa Mandarin saya dulu. Begini:
Suami isteri bertengkar. Kebetulan suami dari Nanfang. Isteri dari Beifang. Saat punya anak laki-laki sang suami memanggilnya A-Chai.

Isterinya tidak suka. Minta agar jangan pakai huruf A di depannya.

Suami-istri itu bertengkar. Tidak teguran selama dua hari. Tidur pun pisah. Pada hari ketiga sang suami ingin wawuhan. Tapi sulit cari cara memulainya.

Sang suami punya ide. Sebelum tidur ia menulis memo di kertas. Ditaruh di meja. Isinya: agar dibangunkan jam 6 pagi. Karena ada rapat penting.

Suami itu bangun kesiangan. Menegur isterinya: mengapa tidak dibangunkan?

Sang istri menjawab dengan kalem. “Sudah saya bangunkan,” ujar isterinya.

“Lihat itu memo  di atas meja. Sudah sejak jam 6 saya taruh di situ,” tambahnya.

Sang suami melihat ke meja. Di situ ada memo yang ditulis isterinya. Yang diletakkan di sebelah memo sang suami. Bunyinya: bangun, bangun, katanya mau ada rapat penting!

Waktu kecil awal BTP dipanggil Ahok pasti bapak-ibunya tidak bertengkar.

Maka sebenarnya sudah menjadi garis tangan BTP. Mendapat nama panggilan Ahok. Itu bagian dari garis tangannya sebagai orang keturunan Nanfang.

Seperti garis tangan saya juga. Tidak punya nama panggilan. Padahal teman-teman kecil saya memilikinya. Di desa saya di Magetan sana. Ada  yang dipanggil ‘Kuncung’, ‘Gudel’, ‘Ginuk’ dan sebagainya.

Kelak saya memang punya nama panggilan ‘Dis’. Berawal dari garis tangan saya: menjadi wartawan. Yang memang ada keharusan dari redaktur. Setiap menulis berita harus menyertakan kode di bagian akhir tulisan. Yang menandakan itu tulisan saya. Saya taruhlah kode ‘(dis)’ di belakang berita yang saya tulis.

Nama panggilan itu tetap ‘dis’ saat menjadi Dirut PLN. Hanya ditambahi kata Pak di depannya: Pak Dis.

Baru ketika jadi menteri berubah menjadi DI. Bukan saya yang mengubah. Tapi orang-orang sekitar saya. Jadilah saya Pak DI.

Terbawa sampai sekarang. Sampai menjadi nama media sekarang ini: DisWay. Bukan singkatan Dis dan Way. Tapi dari kata DI’s Way. Atau dua-duanya.

Itu garis tangan saya berikutnya. Yang juga ditentukan orang lain.

Apakah nama panggilan BTP akan benar-benar bisa menghapus Ahok? Saya tidak tahu. Garis tangannya sendirilah kelak yang menentukan.

Tapi saya yakin keluarga dekatnya tetap akan memanggilnya Ahok.

Tentu tidak ada yang mustahil. Apalagi di zaman medsos ini. Kalau saja setiap detik nama BTP disebut di medsos. Tidak henti-hentinya. Akan jadilah Ahok dipanggil BTP beneran. Seperti nama ARB sempat berhasil menggantikan sebutan Ical. Sebagai nama panggilan Abu Rizal Bakri.

Waktu itu Abu Rizal ketua umum Golkar. Ingin menjadi presiden. Nama panggilan Ical dianggap kurang baik. Secara komunikasi politik. Dalam bahasa Jawa-halus ‘ical’ berarti ‘hilang’. Atau ‘lenyap’.

Konsultan Ical tentu ingin ini: agar orang Jawa memilih jagonya itu. Bukan justru mengejek Abu Rizal sebagai ‘orang yang bakal hilang’.

Lalu komunikasi politik apa yang diharap dari Ahok menjadi BTP?

Saya tidak tahu. Belum pernah ada penjelasannya. Belum pernah dengar rumornya. Saya kurang bergaul belakangan ini.
Kalau memang harapannya jelas, saya akan melupakan menulis ‘Ahok’.

Saya akan selalu menulisnya ‘BTP’. Karena BTP-lah yang lebih disukai Ahok 2019.
Siapa tahu harapannya terkabul. (Dahlan Iskan)

*) Basuki Tjahaya Purnama (BTP) adalah mantan anggota DPR, bupati, Gubernur Jakarta Raya yang fenomenal. Baik karena Tionghoanya maupun kiprahnya. Dituduh menghina  Islam, kalah dalam pemilihan gubernur berikutnya, masuk penjara Brimob dua tahun, menceraikan Vero dengan tiga anak, akan mengawini Puput, wanita Jawa 21 tahun yang Polwan yang dulu ajudan Vero). (dahlan iskan)