25 radar bogor

Utang Indonesia Tembus Rp 4.418 Triliun, Menkeu: Bukan Ujug-Ujug

Menteri Keuangan Sri Mulyani (Hendra Eka/JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR,Sepanjang 2018, peningkatan jumlah utang pemerintah mencapai Rp 423 triliun. Dengan penambahan tersebut, total utang Indonesia menembus Rp 4.418,3 triliun atau setara dengan 29,2 persen produk domestik bruto (PDB).

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, utang Indonesia memang meningkat. Namun, dia menyebut angkanya masih dalam batas wajar jika mengacu pada ketentuan perundang-undangan. Utang rasio terhadap PDB maksimal 60 persen. “Bandingkan dengan negara-negara lain, apakah itu mengkhawatirkan? Coba saja dibandingkan. Debt to GDP ratio, setahu saya, 30 persen itu tidak tinggi,” ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta kemarin (23/1).

Meski demikian, Ani -sapaan akrab Sri Mulyani- menegaskan bahwa utang yang diambil pemerintah dilakukan dengan sangat hati-hati, bertanggung jawab, dan transparan.

“Bukan ujug-ujug, tidak ugal-ugalan,” imbuhnya. Hal itu kemudian tecermin dari angka defisit anggaran Rp 259,9 triliun atau 1,76 persen. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan target APBN 2018 sebesar Rp 325,9 triliun atau 2,19 persen.

Di sisi lain, menurut Ani, pembangunan infrastruktur tetap terjaga, pendidikan bisa dibiayai, kemiskinan bisa turun, kesempatan kerja tercipta, dan masyarakat miskin dilindungi. Pertumbuhan ekonomi pun, menurut dia, masih positif. “Di negara lain, defisitnya harus dinaikkan supaya ekonominya bisa tumbuh tinggi. Kita tidak harus menambah defisit, tapi ekonomi tetap terjaga di atas 5 persen,” kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu. Imbasnya, kata dia, Indonesia dapat investment grade dan outlook-nya tetap stabil.

Defisit anggaran Indonesia memang sedang mengarah pada tren yang terus mengecil. Secara berturut-turut sejak 2012-2018, defisit anggaran tercatat 1,86 persen; 2,33 persen; 2,59 persen; 2,49 persen; 2,51 persen; dan 1,76 persen.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, menambah utang bukan persoalan selama dalam batas wajar. Apalagi, uangnya digunakan untuk hal-hal produktif seperti pembangunan infrastruktur. “Kalau pakai utang cuma mau bangun gedung kantor pemerintah, ya mungkin masalah,” ujarnya.

Darmin menambahkan, pembangunan infrastruktur merupakan program yang hasilnya didapat dalam 10-20 tahun mendatang. Pemerintah sudah mengalkulasi itu. “Anda punya warung, Anda tahu ini laku, Anda minjam untuk bikin lebih bagus kemudian laku, apa masalahnya?” tuturnya.

Ekonom BCA David Sumual mengatakan, pemerintah justru semakin konservatif dalam berutang. Dia menjabarkan, sebelumnya pemerintah terbiasa melakukan refinancing. Hal itu mengakibatkan defisit keseimbangan primer mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Namun, tahun lalu defisit keseimbangan primer hanya Rp 1,8 triliun atau turun 98,6 persen ketimbang pada 2017 yang mencapai Rp 124,4 triliun. Artinya, pendapatan negara menjadi sumber utama untuk membayar utang. “Jadi, tidak gali lubang tutup lubang terus. Memang masih ada kita refinancing, tapi terus mengecil,” kata David.

Dia juga menyarankan, jika mempunyai mandat pembangunan infrastruktur atau lainnya, pemerintah sebaiknya lebih aktif melakukan penawaran umum perdana saham (IPO) ketimbang mengimbau BUMN untuk berutang. IPO dapat memberikan likuiditas dengan cepat tanpa membebani korporasi. “Nah, IPO anak perusahaan BUMN ini yang kurang aktif menurut saya sekarang,” jelasnya.

Di sisi lain, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menambahkan, ada beberapa hal yang perlu diluruskan kepada masyarakat. Sebab, akhir-akhir ini timbul kekhawatiran dari BUMN yang mulai menjual ruas jalan tol. Penjualan itu dilakukan untuk membayar utang korporasi yang membangun infrastruktur jalan tol. “Bukan asetnya yang dijual ya. Tapi, pengelolaannya, ada hak konsesi sampai beberapa tahun. Aset tolnya ya tetap milik kita,” ucapnya.

Penjualan ruas tol juga tidak lantas menurunkan tingkat solvabilitas BUMN. Justru hal tersebut bisa meningkatkan likuiditas perusahaan.

Editor : Ilham Safutra
Reporter : (far/rin/c6/oni)