25 radar bogor

Tarik Ulur Kebijakan Impor Beras, Siapa yang Harus Diuntungkan?

Ilustrasi pedagang beras grosir menjadi salah satu kunci penting dalam distribusi kebutuhan pangan nasional (DOK.FEDRIK TARIGAN)
Ilustrasi pedagang beras grosir menjadi salah satu kunci penting dalam distribusi kebutuhan pangan nasional (DOK.FEDRIK TARIGAN)

JAKARTA-RADAR BOGOR Komoditas pangan selalu menjadi isu yang menarik dan seksi untuk diangkat ke permukaan. Salah satunya soal kemampuan negara mengoptimalkan sumber daya alamnya dalam berproduksi, utamanya beras untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat.

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengutip laporan

gabungan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB yang dirilis 2015 mencatat konsumen beras nasional mencapai 45,7 juta ton setiap tahunnya.

Data yang sama mencatat konsumsi beras per kapita Indonesia mencapai 163 kilogran, lebih tinggi dibanding Thailand (142,5 kilogram), Tiongkok (76,6 kilogram) dan India (73,4 kilogram).
Tarik Ulur Kebijakan Impor Beras, Siapa yang Harus Diuntungkan?
Ilustrasi pedagang beras di pasar tradisional menjadi salah satu kunci penting dalam distribusi kebutuhan pangan nasional

Terkait dengan pemenuhan kebutuhan beras nasional, di satu pihak ada kelompok yang menginginkan Indonesia harus mandiri dengan menjauhi hal-hal yang berbau impor dengan segala alasannya. Kelompok ini mungkin menilai impor seperti virus yang harus dihindari, kalau tidak mau menyebut diberangus.

Di sisi lain, ada pihak yang lebih realistis melihat bagaimana kebijakan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, dalam hal ini beras yang bisa dibeli rakyat dengan harga yang wajar. Impor bukan sesuatu yang haram, bila itu untuk memenuhi kebutuhan pasokan pangan. Tujuannya jelas, negara harus mampu menyediakan pangan dengan cukup dan harga yang terjangkau.

Parahnya, gaduh seputar impor komoditas beras bukan hanya terjadi antara pemerintah dengan pemerhati masalah perberasan yang concern terhadap kebijakan impor, tetapi juga menyangkut antar lembaga pemerintah.

Sebut saja, silang pendapatan antara Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang menyatakan akan melakukan impor beras untuk memenuhi pasokan dengan Dirut Perum Bulog Budi Waseso yang tegas menolak impor karena terbatasnya gudang untuk menampung beras impor belum lama ini.

Entah siapa yang benar dalam hal ini, Menko Perekonomian Darmin Nasution menengahi dengan meminta Badan Pusat Statistik (BPS) untuk membuka data secara detail persediaan pasokan beras.

Head of Research Center for Indonesian Policy Studies Hizkia Respatiadi dalam satu kesempatan mengakui kesimpangsiuran data menjadi masalah untuk menetapkan kebijakan yang harus diambil Pemerintah untuk memastikan ketersediaan pangan yang mencukupi bagi rakyat sehingga harga bisa stabil.

“Data cadangan beras nasional memang jadi persoalan. Antara instansi yang satu dengan lainnya punya basis data yang berbeda sehingga hasil kajian untuk merumuskan kebijakan juga mengalami perbedaan,” ucap Hizkia dalam percakapan dengan JawaPos.com belum lama ini.

Padahal, konsumsi beras yang tinggi di Indonesia ini berarti bahwa harga beras memiliki dampak signifikan terhadap kesejahteraan penduduk Indonesia, khususnya mereka yang berpendapatan rendah.

Menurut Hizkia, perbedaan data antara instansi pemerintah menyebabkan kesimpangsiuran dan pada akhirnya menyebabkan kebingungan di masyarakat.

Dia mengingatkan bahwa impor bukan sesuatu yang tercela bila itu dilakukan untuk memastikan harga komoditas pangan yang dikonsumsi rakyat tetap stabil. “Untuk apa menolak impor kalau pada akhirnya pasokan kurang dan harga naik. Itu kan justru menyulitkan rakyat sebagai konsumen beras,” katanya.

Silang sengketa soal perberasan nasional pada akhirnya harus tetap ujungnya bagaimana Pemerintah mampu memenuhi kebutuhan rakyat dalam mendapatkan beras dengan mudah dengan harga yang wajar di pasar.

Bila produksi mencukupi, tentunya negara tak perlu mengimpor beras dari sejumlah negara yang surplus produksinya. Namun, bila produksi petani jauh dari kebutuhan beras nasional, tidak ada cara lain selain melakukan impor.

Dengan fakta tersebut tentunya dibutuhkan rasionalitas bagi tim kampanye kedua pasangan dalam menghadapi permasalahan pangan yang ada di depan mata. Anggota Tim Kampanye Nasional Joko Widodo- Ma’ruf Amin, Deddy Sitorus mengatakan dalam hal ketahanan pangan logikanya adalah bagaimana menciptakan sumber daya manusia secara menyeluruh, utilisasi dan nilai tambah infrastruktur.

“Logikanya, ketahanan pangan itu akan tercipta bila pengembangan sumber daya manusia dilakukan secara menyeluruh, utilisasi dan nilai tambah infrastruktur ditingkatkan dan ada redistribusi aset melalu program reforma agraria yg berkelanjutan,” kata Deddy kepada JawaPos.com.

Menurutnya, impor tidak mungkin dilakukan saat pasokan memadai. “Itu dilakukan kalau cadangan tidak memadai dan harga di pasar terlalu tinggi. Jadi impor hakekatnya untuk menjamin ketersediaan barang di pasar dan menjaga daya beli rakyat,” tegas Deddy.

Terpisah, Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno sepakat jika masalah data menjadi sumber utama masalah pangan. Oleh sebab itu, jika dipercaya memimpin Indonesia bersama Prabowo Subianto, dia akan melakukan perbaikan data. ’’Data yang mereka pakai berbeda. Data produksi mereka nggak sinkron. Ini akan kami benahi datanya,’’ ujar Sandi di kantor Jawa Pos, Kamis (4/10).

Sandi sepakat, soal pangan harus dibereskan. Apalagi, beras dan angka kemiskinan itu sangat dekat. Begitu harga beras naik, maka inflasi ikut terkerek. Ujung-ujungnya, kemiskinan bertambah. Masalah lain adalah kesejahteraan petani. Harga beras yang tinggi, disebutnya tidak dinikmati petani. Ongkos produksi petani yang naik, membuat beban bertambah.

Soal impor, Sandi dipastikan tak alergi. Opsi itu bisa dibuka demi aksesibilitas masyarakat. Katanya, masyarakat tidak mempermasalahkan beras yang dimakan dari impor atau bukan. Yang penting adalah, masyarakat bisa menjangkau dengan mudah.

’’Nggak usah muluk anti impor. Kita punya suplay, production model, musim, atau soal hama, itu bagaimana dengan produksi kita. Terjangaku atau tidak. Saya rasa, kita perlu bergerak dengan data yang sama,’’ tegasnya.

(uji/JPC)