25 radar bogor

Fokus dan Disiplin Eksekusi Mengamankan Bisnis Anda

Penulis : Mohamad Cholid ( Business & Executive Coach, sertifikasi Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching)

DALAM beberapa hari berinteraksi dengan sejumlah eksekutif, di antaranya dari BUMN, gejala yang sama dari mereka adalah kewalahan menangani proyek-proyek baru. Ini tantangan nyata dari perusahaan-perusahaan yang tengah memacu pertumbuhan.

Lieur eh menghadapi 58 proyek,” kata seorang Vice President sebuah perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta, dengan cabang usaha di banyak kota penting di Indonesia. Ia ketiban tugas dari direksi yang lagi semangat-semangatnya membesarkan perusahaan.

Berapa jumlah proyek yang Anda tangani sesungguhnya bukan ukuran sukses atau kehebatan usaha. Dengan lima proyek baru saja Anda dapat dikategorikan berhasil mengembangkan bisnis jika kelimanya dapat ditangani dengan excellent, on time dan sesuai budget – apalagi jika berhasil menggunakan resources (waktu, uang, dan tim) dengan lebih efisien dan efektif.

Sebaliknya, belasan atau puluhan proyek pengembangan usaha dapat menjadi bencana jika tidak satu pun mampu diselesaikan dengan sangat baik. Gejala ini melanda kalangan eksekutif dan pelaku usaha yang sangat bersemangat menumbuhkan bisnis hanya dari perspektif aset yang membesar. Apalagi dapat kemudahan dukungan suntikan dana – entah dari sistem perbankan, lembaga keuangan non-bank, atau pemegang saham.

Itu indikasi efek negatif dari pergaulan sosial di kalangan pengusaha yang memiliki life style suka menonjolkan penampilan fisik. Kan gagah kalau ditanya, berapa besar bisnisnya saat ini, lalu bisa menjawab, sudah diatas Rp 1 T atau Rp 2 T. Faktor ego bos berperan dalam kasus ini.

Padahal usaha apa pun, yang menjadi patokan keberhasilan adalah profitabilitas, tingkat efektivitas semua aset tersebut menghasilkan uang – ingat ROA (Return on Asset)? – dan cash. Plus satu lagi: sustainability – daya tahan untuk terus meraih laba secara berkesinambungan.

Izinkan saya bertanya: Anda lebih suka mana, mengelola usaha diatas Rp 1 T dengan profit Rp 25 milyar/tahun, lalu kerja ngos-ngosan, jatuh bangun, atau memimpin bisnis Rp 300 milyar, untung Rp 25 milyar/tahun dan usaha tumbuh terkendali, profitable, selama belasan tahun?

Bekerja atau mengelola usaha sebaiknya untuk jadi pemenang, sehat; bukan asal jadi besar tapi limbung. Simaklah Warren Buffet, 88 tahun, salah satu orang terkaya di dunia dengan sumbangan sosial sejak tahun 2000 telah lebih dari $46 milyar (billion), tapi hidup sederhana, masih tinggal di rumah lamanya (dia beli 1958) dan mobilnya hanya satu. Katanya: “I would rather own a $ 10 million a year business making 15% than a $ 100 million a year making 5%.”

Usaha besar, banyak proyek, kelihatan gagah, bukan jaminan sukses. Business model apa pun yang Anda kembangkan sekarang, berbasis on-line, retail, atau B to B (pelanggan terdiri dari perusahaan-perusahaan), bidang properti, kontraktor, atau trading antar kota/pulau dan antar negara, semua pasti diukur berdasarkan hal-hal fundamentalnya, yaitu berapa persen keuntungannya, bagaimana kelancaran arus cash, dan sustainability-nya (daya tahan menghadapi gelombang perubahan pasar yang sangat dinamis).

Kalau sekarang sudah terlanjur terlibat dalam banyak proyek bagaimana?

Lakukan seleksi ulang proyek-proyek tersebut. Kalau Anda memiliki business skills yang baik, tentu punya dasar kuat untuk mengatakan kepada pemegang saham atau kepada diri sendiri, bahwa membangun bisnis bukan sekedar membuatnya tumbuh besar, tapi untuk meraih sukses berkesinambungan. Bisnis besar tidak identik dengan kesuksesan.

Jika proyek tersebut perintah dari bos-nya bos dan sulit ditolak permintaannya?

Bertindaklah seperti petugas air traffic control (pengatur lalu-lintas penerbangan) di bandara. Di Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, pada saat-saat sibuk dalam satu jam bisa ada 50-an pesawat mendarat dan lepas landas. Satu pesawat Boeing seri 737 – 800 harganya US$ 102 juta atau Airbus A380 unit cost-nya US$445 juta. Belum nilai ratusan nyawa penumpang dan air crew (pilot dan pramugari/pramugara) yang ada di dalam pesawat-pesawat tersebut.

Para petugas di menara kontrol seharusnya lebih lieur (distress) — memikirkan bagaimana setiap pesawat (yang harganya 102 juta X 15.000 rupiah) dapat mendarat atau lepas landas dengan selamat – dibandingkan Anda yang harus mengerjakan banyak proyek. Nilai per proyek Anda katakanlah Rp 100 milyar, masih lebih kecil dibandingkan nilai satu Boeing 737 – 800.

Dalam perspektif para petugas air control, setiap pesawat yang mendekat mau mendarat dan antre siap take off tentu semuanya penting. Namun setiap saat, dalam hitungan menit, buat mereka pasti hanya satu pesawat yang paling utama untuk didaratkan dengan aman. Itu disebut eksekusi berdasarkan pendekatan wildly important goal. Satu goal untuk satu waktu. Sementara pesawat-pesawat lain yang juga penting, tetap mereka pantau lewat radar.

Dikaitkan dengan proyek Anda, yang mungkin semuanya penting karena permintaan bos besar, pastikan hanya satu proyek yang siap dieksekusi dalam satu waktu tertentu – artinya tim fokus mengerjakan satu proyek saja untuk periode tertentu. Berapa lama untuk studi kelayakan, izin, dan proses penyiapan dana, Anda tentunya lebih tahu mana yang paling efisien dan efektif. Kalau pengerjaan proyek ditumpuk-tumpuk tentu akan menyebabkan lieur.

Bayangkan kalau petugas air traffic control tidak fokus, tidak disiplin eksekusi, atau tidak dapat menentukan satu pesawat dalam satu waktu untuk dibantu mendarat dengan selamat, pasti terjadi tabrakan dan dapat menimbulkan kerugian ratusan nyawa dan uang trilyunan.(*)

(Untuk peluang konsultasi mengembangkan bisnis Anda secara sehat, silakan kontak 085280538449)