25 radar bogor

Menusuk Rindu

Dahlan Iskan

TIDAK terhitung. Entah sudah berapa kali. Saya ke Palu. Di masa lalu.

Tak terhitung. Berapa banyak ikan lautnya yang sudah kulahap. Berapa cobek sambalnya yang kulumat. Berapa botol bawang merah gorengnya yang kubawa pulang. Palu.

Tempatku merintis koran. Tempatku mendidik wartawan. Tempatku menikmati makanan.

Pernah saya ke Palu Hanya satu jam di sana Hanya karena kangen ikannya Dan sambalnya.

Tak pernah hilang dari ingatan. Sebuah restoran Tidak bisa tutup sebelum tengah malam Karena pesawat saya terlambat tiba Sang suami menunggu di teras Seorang keturunan Arab.

Sang istri tetap di dapur membuat sambal baru. Seorang wanita keturunan Tionghoa.

Yang tidak bisa bahasa Mandarin melainkan Hokkian. Saya lihat putri-putrinya. Setengah Arab. Setengah Tionghoa.

Palu…Kesegaran ikannya, Kelegitan sambalnya, Masih menempel di lidahku. Sampai belasan tahun kemudian. Sampai sekarang.

Palu…Kutitikkan air mataku. Kuremaskan genggam tanganku. Marah. Geram. Tak berdaya. Menyaksikan rakyat sengsara.

Tidak cukup listrik di sana Di tahun 2009 itu. Kulanggar hukum. Kutabrak peraturan.

Demi listrik di sana. Yang mati tiga kali sehari. Kadang seminggu mati abadi…

Palu-Kebunkopi, Palu-Parigi, Palu-Tentena, Palu-Donggala, Adalah rute-ruteku. Kala itu.

Rute yang menantang Rute yang ngeri-ngeri sedap itu.

Palu…Telukmu, Nyiur melambaimu, Al-Khairatmu, Gerejamu, Kelentengmu, Semua lekuk-lekukmu, Begitu abadinya diingatanku.

Palu…Lama saya tidak ke sana. Sejak saya sendiri terkena bencana.

Palu… Tiba-tiba namamu menusuk jantungku. Pilu Gempa dan tsunami itu. Jumat senja akhir September lalu. Meluluhlantakkan bumimu.

Palu. Membuatku pilu.  Palu. Membangkitkan rinduku padamu. (Dahlan Iskan)