25 radar bogor

Pakan Ternak Naik, DPR Pertanyakan Klaim Swasembada Jagung

Ilustrasi petani tengah memanen jagung (Dok.JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR kurasi data produksi komoditas pertanian kembali menjadi masalah. Kali ini, terkait dengan klaim Kementerian Pertanian soal surplus produksi Jagung nasional yang kontradiksi dengan keluhan peternak terkait dengan keluhan naiknya harga pakan.

Merespons keluhan peternak terkait tinggingnya harga pakan, anggota Komisi IV DPR, Zainut Tauhid Sa’adi mengaku heran dengan kondisi itu. Dirinya mengaku siap mengonfrontasi Kementerian Pertanian dengan pengusaha soal besaran produksi dan kebutuhan jagung yang sesungguhnya.

“Gagasan untuk mempertemukan menjadi salah satu solusi. Kami akan melakukan pengecekan lapangan terdahulu untuk memastikan mana yang benar. Karena laporannya surplus,” ujar Zainut dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (28/9).

Pengecekan langsung perlu dilakukan, mengingat produksi jagung ini karena berhubungan dengan pakan untuk ternak. Dengan harga pakan yang meningkat, efeknya bakal merembet ke harga telur dan daging ayam

“Kami akan mengkonfrontrasi dua data yang beda, mana yang benar. Kami ingin semuanya pasti. Nggak ingin hanya berdasarkan katanya. Karena ini juga akan berimbas ke harga-harga lain,” tegas Zainut.

Terpisah, Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Sudirman mengungkapkan, saat ini peternak lebih banyak menggunakan gandum daripada jagung untuk bahan baku produksi. Langkah ini diambil karena memang kebutuhan jagung untuk produksi pakan tidak dapat terpenuhi.

Menurutnya pengusaha pakan membeli olahan gandum dari pabrik terigu karena pasokan jagung tidak mencukupi.

Kebutuhan pengusaha pakan atas gandum bahkan tidak main-main. Sudirman mengatakan, secara teori hampir semua pengusaha pakan sudah menggunakan gandum sebagai pengganti jagung.

Ia pun berharap pemerintah menata ulang kebijakan terkait pakan dan bahan bakunya, khususnya jagung. Menurutnya, langkah yang bisa diambil pemerintah adalah menarik minat investor bisnis pascapanen untuk persoalan surplusnya jagung yang belum pasti ini.

“Jadi daripada mengklaim jagung surplus, lebih baik pemerintah melibatkan sebanyak-banyaknya pihak swasta. Jangan dikerjakan sendiri,” ucapnya.

Ia mencontohkan, selama ini kementerian pertanian memberikan bantuan dalam bentuk alat produksi pertanian, benih dan pupuk. Sementara dryer atau pengering tidak ada.

“Jagung itu seperti padi juga. Kalau musim hujan butuh dryer. Nah kan tidak mungkin juga kasih dryer ke petani atau kelompok tani. Karena itu biaya operasional dan perawatan
juga tinggi. Ini yang harus dipikirkan,” tuturnya.

Jika memang stok tersedia, pengusaha ternak kata
Sudirman sebenarnya lebih senang memakai jagung untuk bahan utama pakan ternak. Dengan memakai jagung, pakan mereka tidak perlu ditambahkan zat adittif untuk bisa membuat kaki ayam terlihat kuning.

Sebelumnya, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas mengungkapkan, impor gandum yang melonjak tinggi dari tahun 2016 seakan menjadi substitusi dari dilarangnya impor jagung lewat Permentan Nomor 57 Tahun 2015 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal tumbuhan ke dan dari Wilayah Indonesia.

Pada tahun 2016, impor gandum diketahui naik 3,1 juta ton dibandingkan tahun 2015. Di sisi lain menurut data UN Comtrade impor jagung pada tahun 2016 turun 2,1 juta ton, merosot dari 2015 sebesar 3,3 juta ton menjadi 1,1 juta ton pada 2016.

(ask/JPC)