25 radar bogor

Adik, Keponakan, Awak Redaksi, & Pimpinan Hilang, Semoga Semua Selamat

 

Oleh:Murtalib Rasul Pemred Radar Sulteng

Musibah bencana alam tidak bisa diprediksi. Datangnya tiba-tiba. Pergi meninggalkan derita. Seperti itulah yang dialami tim Radar Sulteng (Grup Radar Bogor) yang kantornya berjarak sekitar 100 meter dari bibir pantai.

Pemimpin redaksi (Pemred) Radar Sulteng, Jawa Pos Group (Grup Radar Bogor) Murtalib menceritakan saat-saat gempa mengguncang dan selama tiga hari kemudian, dirinya mencari adik, keponakan, tim redaksi, termasuk pemimpin perusahaan yang keberadaannya hingga sekarang belum diketahui.

Waktu itu Jumat (28/9) pukul 18.10 dan azan Magrib baru selesai berkumandang. Saya bersama anak saya baru selesai pakai sarung dan hendak menuju Masjid Nurul Amin yang berjarak sekitar 200 meter. Tiba-tiba terdengar suara geluduk. Kaki saya terangkat dan terbanting. Suasana gelap gulita.

Sekilat itu, saya langsung menarik anak saya yang berusia hampir 7 tahun tersebut. Tidak ingat lagi berapa kali jatuh bangun untuk bisa keluar dari rumah. Istri saya juga histeris dan lari duluan ke luar rumah. Malam itu suasana Kota Palu kacau. Masing-masing menyelamatkan diri. Isu tsunami seketika membuat orang panik dan lari.

Saya pilih bertahan dan berusaha tidak panik. Kondisi lalu lintas di hampir semua jalan padat merayap dengan bunyi klakson kendaraan. Anehnya, isu tsunami dari dua arah berlawanan. Satu dari pantai dan satunya dari Danau Lindu. Sekitar dua jam berlalu. Wilayah tengah Kota Palu tidak begitu kena dampaknya. Hanya, gempa terus terjadi dengan intensitas keras dan lemah.

Setelah semua keluarga menurut saya aman, barulah saya berusaha mengontak rekan-rekan di kantor. Termasuk, pimpinan H Kamil Badrun. Semua nomor handphone tidak aktif. Sesekali kawan Jawa Pos (Grup Radar Bogor) mengon­tak saya, tapi tidak terdengar suara.

Grup WA internal Radar Sulteng (Grup Radar Bogor)juga tidak aktif. Saya putuskan Radar Sulteng (Grup Radar Bogor) tidak terbit karena kondisi gelap dan jaringan telekomunikasi terputus. Terlebih, kantor Radar Sulteng (Grup Radar Bogor) berlokasi sekitar 100 meter dari pantai.

Keesokan paginya, Sabtu (29/9), saya langsung mendatangi rumah Manajer Umum Fahmi Laguliga di Pegunungan Talise. Alhamdulillah, dia sekeluarga selamat. Pagi itu juga kami berdua melihat kantor Radar Sulteng (Grup Radar Bogor).

Pemimpin Redaksi Radar Sulteng

Alhamdulillah, puji syukur, kondisi dari luar utuh. Hanya, di bagian dalam, mulai lantai 1 hingga 3, isinya berantakan. Ada plafon yang jebol. Dinding retak-retak. Hanya kondisi dalam percetakan yang belum saya ketahui karena terkunci. Di halaman belakang kantor, beberapa mobil tersangkut. Bebe­­rapa mayat belum dieva­kuasi. Ngeri sekali.

Sebab, bagian belakang kantor yang sebelumnya ditempati banyak kafe dan rumah penduduk menjadi bersih, bekas disapu tsunami.

Dari pengakuan Sobirin, kru Radar TV yang saat kejadian bertahan di kantor, kawan-kawan dari Radar Sulteng (Grup Radar Bogor) maupun Radar TV langsung semburat dan menyelamatkan diri. Yang lari ke dataran tinggi dipastikan selamat. Untuk yang lari ke jalur pantai, belum diketahui nasibnya.

Gedung Graha Pena Radar Sulteng sebelum dihantam gempa

Hingga kemarin, Minggu (30/9), di antara 25 kru redaksi Radar Sulteng (Grup Radar Bogor), baru sebagian kecil yang saya ketahui selamat. Saya berdoa, semoga semua selamat. Ada tiga kru yang memiliki rumah di pinggir pantai. Yakni, Sudirman, Taswin, dan Irawati. Tiga rumah kru Radar Sulteng (Grup Radar Bogor), tersebut tersapu tsunami. Bagaimana nasib mereka? Wallahualam.

Keberadaan Mugni Supardi, juru kamera yang suka wira-wiri di kantor, kabarnya, juga belum diketahui. Saya belum sempat mencari ke lokasi pengungsian di dataran tinggi yang ditempati begitu banyak manusia. Sekali lagi, mudah-mudahan semua kawan-kawanku selamat, ikut di antara masyarakat yang mengungsi.

Setelah seharian keliling kota dan mengantar rekan-rekan Jawa Pos (Grup Radar Bogor) ke lokasi-lokasi yang terisolasi, saya juga berusaha mencari jejak adik saya yang bernama Nur Imamah bersama anaknya, Asyifa, 6, yang hilang sejak hari pertama gempa. Kebetulan, adik saya itu bekerja di PT Jasa Raharja Sulteng. Ada juga tim Jasa Raharja yang turut membantu pencarian. Hasilnya masih nihil.

Saat ini yang mendesak diperlukan pengungsi adalah kebutuhan makanan, tenda, listrik, dan jaringan teleko­munikasi. Memasuki hari keempat setelah bencana, yakni Senin hari ini, belum ada media lokal yang terbit di Palu. Semoga cepat ada perbaikan sarana dan prasarana umum. Saya juga berdoa, semoga tidak ada gempa susulan.(*)