25 radar bogor

Jojo Pelepas Penat Emak-Emak

Pebulu tangkis Indonesia Jonatan Christie

JAKARTA – RADAR BOGOR, Kemenangan Jonatan ”Jojo” Christie adalah kebanggaan bangsa Indonesia. Sudah pasti itu yes. Perjuangannya mengalahkan tunggal nomor 6 dunia Chou Tien Chen dalam partai final Asian Games 2018 begitu menegangkan.

Rakyat Indonesia bersatu. Baik yang punya tagar gantipresiden maupun yang lanjutduaperiode, doanya sama. Ayo Jo, menang!

Biar apa? Biar menambah medali emas. Biar Indonesia Raya berkumandang. Biar peringkat negara kita semakin mantap di posisi keempat. Biar mampu memecahkan paceklik gelar tunggal putra setelah 12 tahun. Sudah, itu saja? Belum. Ini yang paling ditunggu. Biar Jojo buka kaus!!!

Kemenangan yang heroik itu terasa mencapai klimaksnya begitu lajang 20 tahun tersebut memamerkan perut six pack-nya. Dalam dua kemenangan sebelumnya, Jojo melakukan selebrasi yang mampu membuat hati perempuan (dan sebagian lelaki) dari Sabang sampai Merauke dag-dig-dug masal.

Karena itu, jangan salahkan jika di antara doa kemenangan untuk Jojo, terselip harapan untuk melihatnya mencopot kaus lagi. Dan, memperlihatkan hasil kerja keras olah fisiknya yang basah karena keringat.

Sungguh harapan yang nista, semestinya. Mendamba seorang pria membuka kaus untuk kemudian mengagumi dan mengomentarinya. Tampak tak etis, bukan? Terasa seksis, bukan? Muncul dugaan sexual harassment-nya juga, kan?

Pada kasus Jojo, jawabannya adalah tidakkk… Ini bukan hanya pembenaran karena saya juga masuk dalam golongan penikmat keindahan itu ya, hehehe… Tapi, menurut saya, memang tidak ada unsur sexual harassment-nya.

Jojo tidak menganggap luapan ekspresi para pendukungnya itu sebagai kegiatan atau ajakan seksual yang mengitimidasi. Pun, dia tidak merasa terganggu dengan hal itu. “Kalau bisa buat orang bahagia, kenapa nggak?” Begitu katanya. Oh, Jojo, sungguh mulia hatimu, hehehe.

Kekaguman kepada peringkat ke-15 tunggal pria dunia itu nyata-nyata dilakukan secara berjamaah. Para perempuan yang biasanya malu-malu jadi mendadak tak ragu kelihatan ndramus. Timeline di media sosial apa pun mengalami pergerakan serentak ke arah yang sama. Ngomongin Jojo beserta bodinya yang aduhai itu, tentu saja.

Serunya, yang heboh bukan hanya mereka yang seusia Jojo. Mereka yang umurnya dua kali lipat Jojo bisa dibilang juga lebih heboh berlipat-lipat.

Emak-emak yang feed Facebook-nya biasa diisi resep masakan, tawaran barang dagangan, atau posting-an arisan wali murid dengan ber-dress
code jadi tampil beda. Mendadak ada foto berondong shirtless dipajang lengkap dengan komentar-komentar yang mungkin saat anaknya membaca akan bertanya, Mama ini kenapaaa?

Keriuhan karena hal yang sebetulnya remeh ini sebetulnya bisa menjadi indikasi betapa sedang lelahnya jiwa-jiwa emak-emak itu. Di kehidupan nyata, mereka diberondong problematika hidup berwarna-warni yang tak berkesudahan. Terutama dari sektor drama ekonomi rumah tangga.

Dari hari ke hari, rupiah rasanya makin tak berharga. Bagi masyarakat kelas ekonomi menengah, dinamika naik turunnya harga telur atau daging ayam saja sudah bisa menghilangkan pos jatah satu kali nonton sekeluarga saat weekend.

Duit Rp 50 ribu cuma dapat beberapa jajan anak saat dibawa masuk ke minimarket. Siapa yang paling berat memikirkan hal-hal semacam itu kalau bukan emak-emak yang dalam keluarga juga memiliki jabatan deputi keuangan?

Sementara itu, kehidupan di medsos juga tak kalah menjemukannya. Posting-an politik hingga derasnya berita hoax menguras energi ketika membacanya.

Di tengah penat mengatur segala hal yang kompleksnya terasa semakin bertambah saat tanggal tua begini, hadirlah fe­nomena Jojo.

Dalam tahap paling rendah, aksi selebrasi Jojo itu mampu memberikan hiburan
mata. Segeeerrr banget ya buk-ibuk. Tapi, di level yang lebih tinggi, Jojo juga mengajarkan banyak hal baik. Bagaimana tetap optimistis meski berhadapan dengan lawan yang tak sepadan. Bagaimana tetap berjuang keras tanpa kendur sampai titik akhir.

Bersama Jojo, emak-emak itu jadi merasa punya power mele­wati tanggal tua dengan lebih strong. Bersama Jojo, kami emak-emak banyak problem merasa memiliki harapan besar. Tak ada yang tak mungkin jika kita mau.

Bersama Jojo, kami juga disadarkan untuk lebih cinta produk dalam negeri. Bahwa bukan hanya Song Joong-ki, Lee Min-ho, Gong Yoo, atau Ji Chang-wook yang punya roti sobek dalam takaran pas. Roti lokal ternyata juga bisa lebih awesome.

Percayalah, fenomena respons hype selebrasi Jojo ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa kemudian emak-emak itu mendadak beralih menjadi penyuka berondong, misalnya. Atau menjadi kegatelen setiap melihat cowok-cowok dengan tipikal fisik seperti Jojo. Sama sekali nggak.

Sebab, seperti kata Jojo, setelah dari podium, saya bukan juara lagi. Setelah ke-hype-an itu berakhir (yang pastinya terjadi maksimal dalam empat hari ke depan), emak-emak akan kembali ke rutinitas normal mereka lagi.

Akrobat mengatur uang belanja, bergulat dengan dapur
, anjem anak, sampai usaha mix and match baju supaya masuk sebagai dress code tanpa perlu beli baju baru.

Namun, memang kini ada yang sedikit berbeda. Kalau para pria bisa bangga jika memiliki harta, takhta, dan Raisa, kami para emak kini juga punya kebahagiaannya sendiri. Yakni, harta, takhta, dan Jojo. Masuuuk Pak Eko!!!

(*)