25 radar bogor

Korban Meninggal Gempa Lombok 460 Orang, Jumlahnya Masih Bisa Bertambah

Seorang ibu mengalami cidera pada pahanya saat berlari ketika gempa 6,2 SR mengguncang Lombok, Kamis (9/8/2018).
Seorang ibu mengalami cidera pada pahanya saat berlari ketika gempa 6,2 SR mengguncang Lombok, Kamis (9/8/2018).

LOMBOK-RADAR BOGOR, Angka jumlah korban, pengungsi, kerusakan, dan kerugian ekonomi terus bertambah hingga hari kesepuluh pascagempa 7 skala richter yang mengguncang Lombok dan sekitarnya pada 5 Agustus 2018. Bertambahnya jumlah dampak disebabkan oleh laporan pendataan yang makin lancer.

Hingga Rabu (15/8/2018) tercatat 460 orang meninggal dunia, yaitu di Kabupaten Lombok Utara 396 orang, Lombok Barat 39 orang, Lombok Timur 12 orang, Kota Mataram 9 orang, Lombok Tengah 2 orang dan Kota Denpasar 2 orang.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, jumlah korban jiwa ini masih bisa bertambah mengingat Tim SAR gabungan masih melakukan pencarian korban tertimbun longsor di Dusun Dompu Kecamatan Kayangan, Lombok Utara yang diduga ada empat orang tertimbun longsor, evakuasi di Dusun Busur Timur Desa Rempek Kecamatan Gangga, Lombok Utara yang diduga masih ada satu orang tertimbun reruntuhan bangunan, dan beberapa laporan dari masyarakat.

Jumlah korban luka-luka tercatat 7.773 orang, dimana 959 orang luka berat dan rawat inap dan 6.774 orang luka ringan atau rawat jalan. Sebanyak 417.529 orang mengungsi di ribuan titik pengungsian.

“Dari 417.529 orang mengungsi tersebut terdiri dari 187.889 laki-laki dan 229.640 perempuan,” ujar Sutopo.

Sebaran pengungsi terdapat di Kabupaten Lombok Utara 178.122 orang (80.155 laki-laki, 97.967 perempuan), Lombok Barat  104.060 orang (46.827 laki-laki, 57.233 perempuan), Lombok Barat 116.453 orang (52.404 laki-laki,6 4.049 perempuan), dan Kota Mataram 18.894 orang (8.503 laki-laki, 10.391 perempuan).

“Pengungsi masih memerlukan bantuan mengingat belum semua distribusi bantuan lancer dan merata. Selain itu, diperkirakan mereka masih cukup lama akan berada di pengungsian sambil menunggu perbaikan rumah,” ucap Sutopo.

Sementara itu pendataan sementara kerusakan rumah hingga saat ini terdapat 71.962 unit rumah rusak dimana 32.016 rusak berat, 3.173 rusak sedang, dan 36.773 rusak ringan. Kerusakan fisik lainnya terdapat 671 unit fasilitas pendidikan rusak dimana 124 PAUD, 341 SD, 95 SMP, 55 SMA, 50 SMK, dan 6 SLB.

Juga terdapat kerusakan 52 unit fasilitas kesehatan (1 RS, 11 puskesmas, 35 pustu, 4 polindes, 1 gedung farmasi), 128 unit fasilitas peribadatan  (115 masjid, 10 pura, 3 pelinggih), 20 unit perkantoran, 6 unit jembatan, dan jalan-jalan rusak dan ambles akibat gempa.

“Kerusakan dan kerugian yang diakibatkan gempa sangat besar. Tim dari Kedeputian Rehabiitasi dan Rekontruksi BNPB masih melakukan hitung cepat dampak gempa,” sebut Sutopo.

Dengan menggunakan basis data per 13 Agustus 2018, kerusakan dan kerugian akibat gempa di NTB mencapai Rp 7,45 triliun. Kerusakan dan kerugian ini meliputi sektor permukiman Rp 6,02 triliun, sektor infrastruktur Rp 9,1 miliar, sektor ekonomi produktif Rp 570,55 miliar, sektor sosial Rp 779,82 miliar, dan lintas sektor Rp 72,7 miliar.

“Sektor permukiman adalah penyumbang terbesar dari kerusakan dan kerugian akibat bencana yaitu mencapai 81 persen,” terang Sutopo.

Angka ini masih akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya data dampak kerusakan yang masuk ke Posko. BNPB juga akan menghitung berapa besar kebutuhan yang diperlukan untuk pemulihan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.

Pembangunan kembali akan dilakukan di lima sektor yaitu sektor permukiman, infrastruktur, ekonomi produktif, sosial dan lintas sektor.

Tentu memerlukan triliunan rupiah. Tidak mungkin semuanya dibebankan pada pemerintah daerah.

Sebagian besar pendanaan berasal dari pemerintah pusat. Bantuan dari dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan untuk pemulihan ini. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi akan dilakukan selama dua tahun.

“Masyarakat, Pemda NTB dan Pemda kabupaten/kota terdampak harus segera bangkit. Perlu waktu untuk memulihkan kembali. Pemerintah pusat akan selalu mendampingi dan memberikan bantuan hingga rehabilitasi dan rekonstruksi nanti,” imbuh Sutopo.

Luluh lantaknya kehidupan ekonomi dan pembangunan di Lombok memberi kesempatan kita untuk menata lebih baik. Tata ruang perlu ditata kembali menyesuaikan peta bahaya gempanya. Bangunan yang dibangun juga harus mengikuti standar konstruksi tahan gempa.

Pariwisata sebagai andalan devisa bagi NTB juga harus ditata ulang. Wisatawan perlu dibekali pemahaman pengetahuan kebencanaan dan fasilitas kepariwisataan juga dikaitkan dengan mitigasi bencana agar wisatawan mendapat pengetahuan bencana.

Hotel-hotel di pantai sekalian dapat dimanfaatkan sebagai shelter evakuasi saat ada peringatan tsunami dan kontruksinya tahan gempa.

Masyarakat Lombok harus diedukasi dan disosialisasi terus menerus dengan ancaman bencana. Jadikan pendidikan kebencanaan sebagai pelajaran mata pelajaran tambah atau muatan lokal yang wajib diikuti oleh semua siswa.

“Ini kesempatan untuk berbenah. Menata kembali kehidupan yang lebih baik dan aman. Jangan asal membangun karena suatu saat, entah puluhan atau ratusan tahun lagi, gempa akan dapat terjadi. Sebab gempabumi memiliki periode ulang, yang akan kembali terjadi akibat adanya pergerakan lempeng atau sesar di bumi. Kita harus hidup harmoni dengan risiko bencana. Sebab Lombok memang daerah rawan bencana,” pungkas Sutopo. (ysp)