JAKARTA–RADAR BOGOR,Perseteruan internal Partai Hanura rupanya belum usai. Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Hukum DPP Hanura Petrus Selestinus menilai, ada yang janggal dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta soal gugatan kubu Daryatmo-Sarifuddin Sudding.
Sebagaimana diketahui, PTUN Jakarta mengabulkan gugatan Daryatmo-Sudding atas SK Menkumham tentang Restrukturisasi, Revitalisasi dan Reposisi Kepengurusan DPP Partai Hanura.
“Kami menilai ada beberapa kejanggalan dalam Putusan PTUN Jakarta tersebut,” ujar Petrus dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com, Rabu (4/7).
Menurut Petrus, dalam pertimbangan hukum, majelis hakim mengatakan pihaknya tidak berhak menentukan keabsahan kepengurusan partai politik. Menurut majelis, keabsahan kepengurusan parpol ditentukan oleh mahkamah partai dan/atau peradilan umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Partai Politik (Parpol).
“Namun, anehnya, di amar putusan Majelis Hakim PTUN, justru mengabulkan gugatan penggugat. Itu artinya, Majelis Hakim PTUN ikut menentukan keabsahan kepengurusan parpol yang sebenarnya menjadi wewenang mahkamah partai politik menurut UU Parpol,” katanya.
Kejanggalan lain, kata Petrus, Majelis Hakim PTUN menempatkan keputusan Hanura melakukan restrukturisasi, revitalisasi dan reposisi terhadap posisi Sarifuddin Sudding sebagai sekjen, sebagai produk dari Keputusan Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan Partai Politik (FTPKPP) Hanura.
Padahal, menurut Petrus, restrukturisasi, revitalisasi dan reposisi hanyalah perubahan pengurus pada tataran sekjen yang menurut AD, ART dan PO cukup dilakukan dengan rapat pleno atau oleh ketua umum berdasarkan mandat rapimnas.
“Jadi, sekali lagi SK Restrukturisasi, Reposisi dan Revitalisasi bukanlah produk yang mengubah hal-hal pokok sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 2 ayat (4) UU Parpol, seperti mengubah AD-ART, mengganti ketua umum, mengganti asas partai dan lainnya yang harus dilakukan melalui Munas/Munaslub sebagai FTPKPP,” jelas dia.
Dia juga mengatakan, dengan melakukan restrukturisasi, revitalisasi dan reposisi, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) tidak melakukan perubahan kepengurusan. OSO hanya mengubah personalia pengurus secara orang per orang di dalam partai saja.
Perubahan tersebut hanya sifatnya insidentil, bukan perubahan mendasar yang harus diputuskan lewat forum tertinggi partai atau munas.
Petrus juga kecewa lantaran SK yang digugat merupakan SK yang bersifat deklaratif absolut. Pasalnya, perubahan pengurus partai politik di tingkat pusat dilakukan pada jabatan Sekjen yang menurut AD/ART Partai Hanura hanya cukup dengan Rapat Pleno DPP atau di Hanura cukup dilakukan oleh ketua umum berdasarkan mandat rapimnas. (gwn/JPC)