25 radar bogor

Akhir Sinisme Cinta Dua Suku

Anda lelaki asal Sunda? Sebaiknya jangan menikahi perempuan asal Jawa. Begitu pun sebaliknya. Sudah beratus-ratus tahun, masyarakat dua suku; Sunda dan Jawa, memegang teguh mitos tersebut. Legenda Perang Bubat disebut-sebut menjadi pemicunya. Nah, Ahmad Heryawan mampu meredakan sinisme kedaerahan yang sudah berlangsung lama itu. Seperti apa?

Sinisme percintaan antara suku Sunda dan Jawa berlangsung di sendi-sendi kehidupan. Ini menjadi realitas di masyarakat. Masih banyak yang percaya bahwa mitos larangan pernikahan antara suku Sunda dan Jawa. Seperti yang dialami Arjuna (28). Sakit hati atas penolakan keluarga sang pujaan hati masih membekas. Dia harus merelakan kekasihnya karena tak mendapat restu. “Alasannya karena saya orang Sunda dan pacar saya orang Jawa,” akunya.

Bagi sebagian orang, memang pernikahan antarsuku tersebut diyakini menjadi pernikahan yang tidak langgeng dan penuh masalah. Namun, tak selamanya mitos itu benar. Beberapa pasangan dari suku Sunda dan Jawa justru hidup bahagia.

Jaenal Abidin (28) mem­­buktikannya. Pegawai salah satu perusahaan swasta di Kota Bogor ini sempat beberapa kali putus cinta karena hubu­ngannya dengan perempuan asal Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, itu tak disetujui orang tua.

Alasannya karena perbedaan suku. Pria asal Jasinga, Kabupaten Bogor, itu dengan gigih memperjuangkan cintanya hingga ke pelaminan. “Alhamdulillah sekarang sudah menikah dan istri sedang hamil. Saya bahagia,” ujar alumnus Universitas Pakuan itu kepada Radar Bogor.

Percaya atau tidak, sampai saat ini memang masih banyak orang-orang yang memercayai bahwa suku Jawa dan suku Sunda dilarang menikah. Hal tersebut merupakan mitos dari legenda yang diwariskan secara turun-temurun.

Mitos ini tak terlepas dari sejarah perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dari tanah Jawa dan Kerajaan Padjadjaran dari tanah Sunda pada 1357 Masehi. Perang tersebut seolah membawa ‘sisa permusuhan’ antar kedua suku ini. Sehingga muncullah mitos jodoh antara orang Jawa dan Sunda.

Menilik dari berbagai sumber, berawal dari rencana Raja Hayam Wuruk yang ingin menikahi putri Sunda, Dyah Pitaloka. Kemudian Raja Sunda dan rombongannya mendatangi Majapahit untuk memuluskan rencana pernikahan tersebut. Namun sayang, pernikahan gagal sebab Gajah Mada berambisi menaklukkan Kerajaan Sunda di bawah panji-panji Majapahit.

Dan, rencana Gajah Mada itu tak berjalan mulus. Orang Sunda menolak perintahnya. Mereka tak ingin sang putri dibawa ke istana Majapahit untuk diserahkan kepada Hayam Wuruk sebagai tanda takluk. Sejak awal, kedatangan mereka mengantar sang putri semata-mata untuk menikahkannya dengan raja Majapahit.

Puncaknya, ketegangan berubah menjadi pertempuran di lapangan Bubat. Hampir semua orang Sunda yang ikut rombongan tewas, tak terkecuali raja, patih, para menteri dan bangsawan. Sedangkan permaisuri, istri-istri pejabat, dan sang putri bunuh diri.

Hubungan Majapahit dengan Sunda yang awalnya diperteguh melalui ikatan perkawinan pun sirna. Perang Bubat kemudian dianggap membawa sisa permusuhan antar kedua suku dan merembet hingga ke perjodohan.

Nah, pada akhir jabatannya, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan merekonsiliasi budaya melalui nama jalan. Bersama Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Wakil Gubernur Yogyakarta Paku Alam X, Aher meresmikan nama jalan yang berkaitan dengan Perang Bubat, yakni Jalan Majapahit, Hayam Wuruk, dan Citraresmi.

Langkah tersebut, kata Aher, merupakan upaya meng­hilang­kan rasa dendam dan sakit hati akibat luka sejarah masa lalu yang kelam. “Dengan nama Majapahit dan Hayam Wuruk sebagai tokoh kerajaan Jawa kemudian menjadi nama jalan di Jawa Barat secara simbolis dapat membuktikan upaya menjaga tali persaudaraan antarsuku dan budaya,” ujar Aher belum lama ini.

Menurutnya, rekonsiliasi budaya ini sangat penting untuk menyelesaikan konflik antara suku Sunda dan Jawa pada masa lampau. Aher berharap, sekat budaya yang terjadi antara suku Sunda dan Jawa bisa mencair di tengah masyarakat.(nal/c)