25 radar bogor

Refleksi Kesalehan Sosial

BAGI umat Islam, Ramadan bukan sekadar nama bulan Qama­riyah, tapi bermakna khusus sebagai rihlah dari kehidupan materialistis ke kehidupan ruhiyah. Dari kehidupan sarat keduniaan menuju kehidupan penuh pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs) dan olah rohani (riyadhahur ruhiyah).

Inilah bulan yang penuh amal taqar­rub pada Allah, mulai dari tila­­wah Alquran, menahan syahwat dengan shiyam, sujud dalam qiyamul lail, berkitikaf di masjid, dan lain-lain.

Selama bulan Ramadan, kita merealisasikan inti ajaran dan hikmah puasa, yaitu agar kita menjadi orang bertakwa. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah: 183).

Kita sepakat untuk tak membiarkan Ramadan tahun ini berlalu tanpa hasil yang mendukung kemenangan iman dan takwa. Karena sikap inilah yang akan merefleksikan kesalehan sosial dengan ditopang kesalehan individu, yaitu seperti sikap sabar, jujur dan ikhlas serta dermawan.

Sabar adalah keadaan di mana manusia memiliki sikap yang tegar dalam menghadapi setiap musibah yang menimpa. Sabar itu ada tiga tingkatan, pertama; sabar dengan tidak mengeluhkan apa pun yang dialami, seperti kesabaran manusia pada umumnya; ini adalah sabar tingkatan tabi’in.

Kedua, sabar dengan menerima segala ketetapan Allah, seperti kesabaran orang yang tidak memedulikan masalah duniawi; ini adalah sabar tingkatan orang-orang zuhud. Tiga, sabar dalam pengertian menghadapi semua musibah dengan senang hati karena semuanya itu dari Allah belaka, seperti kesabaran orang-orang yang benar dalam imannya; ini adalah sabar tingkatan para shiddiqin.

Sikap kedua adalah jujur. Secara etimologi, jujur merupakan lawan kata dusta. Dalam bahasa Arab diungkapkan dengan ”Ash-Shidqu” sedangkan ”Ash-Shiddiq” adalah orang yang selalu bersikap jujur baik dalam perkataan maupun perbuatan.

Allah SWT berfirman; ”Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. an-Nisa’ [4]:69)

Maksud ”para pecinta kebenaran” pada ayat di atas adalah mereka yang gemar bersikap jujur, mengakui kebe­naran, atau orang yang mem­prak­tikkan apa dikatakannya. Ada juga yang menafsirkan bahwa mereka adalah pengikut terbaik para nabi yang dengan segera mengakui ke­benaran kenabian, seperti Abu Bakar r.a.

Selanjutnya sikap ikhlas. Secara etimologi bermakna bersih, murni dan khusus. Adapun secara termino­logi atau istilah, kata ikhlas adalah “Suatu pengosongan maksud (tujuan) untuk bertaqarub kepada Allah Yang Maha Mulia dari segala macam noda (kehidupan).

”Definisi lainnya adalah “Ifraadullah (mengesakan Allah) dalam maksud dan ketaatan.Secara lebih terperinci juga bermakna; “Mengerjakan ibadah atau kebajikan kerana Allah semata-mata dan mengharapkan keridha­an-Nya”.

Kata ikhlas banyak sekali terdapat dalam Alquran, di antaranya: Pertama menggunakan kata khaalish, yaitu bersih dan tidak dicampuri noda apa pun. Kedua, khalashuu, yaitu memproteksi diri. Seperti dalam firman Allah, “Maka tatkala mereka berputus asa dari (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik.” (QS. Yûsuf [12]: 80)

Ketiga, khaalishah, yaitu khusus untukmu, sebagaimana dalam firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menga­nugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (QS. Shâd [38]: 46)

Keempat, mukhlishan, yaitu orang yang ikhlas memperjuangkan agamanya hanya untuk Allah semata, dan tidak ada cela sedikit pun. Ka­dangkala kata mukhlishan dipadukan dengan kata mukhlishin.

Sikap yang terakhir adalah, dermawan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dermawan diartikan sebagai pemurah hati atau orang yang suka berderma (beramal dan bersedekah).

Sedangkan menurut istilah dermawan bisa diartikan memberikan sebagian harta yang dimilikinya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkan dengan senang hati tanpa keterpaksaan dan ikhlas (tanpa adanya imbalan).

Allah sudah berjanji apabila seseorang berdermawan atau ber­sedekah, maka Allah SWT akan me­nggantinya, seperti firman Allah yang tercantum dalam Alquran :
”Dan barang apa saja yang kamu naf­kahkan, maka Allah akan meng­gantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya” (Q.S Saba’: 39).

Oleh karena itu, bisa kita pahami bahwa agama Islam sangat mengan­jurkan kepada manusia untuk me­miliki kepedulian terhadap sesama (bersikap dermawan ), terutama kepada orang sedang membutuhkan bantuan.

Sifat kedermawanan akan men­dapat­kan pahala yang berlipat ganda dari Allah Ta’ala, Rasulullah SAW ber­sabda, ’’Harta tidak akan be­r­kurang dengan disedekahkan”.

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa hadis ini mengandung dua pengertian. Pertama, sedekah itu diberkahi (di dunia) dan karenanya ia terhindar dari kemudharatan. Dan kedua, pahalanya tidak akan berkurang di akhirat, bahkan dilipatgandakan hingga kelipatan yang banyak.(*)