25 radar bogor

Para Pelaku Pengeboman dan Terduga Teroris di Mata Tetangga, Teman, dan Polisi (2-Habis)

Guslan Gummilang/Jawa Pos DALAM PENGAWASAN: Rumah terduga teroris Dedy Sulistiantono di Jalan Sikatan, Surabaya, dijaga petugas Satpol PP, kemarin.

Anton Ferdiantono, Tri Murtiono, maupun Dedy Sulistiantono sama-sama dikenal sebagai sosok tertutup oleh para tetangga. Ekspresi ketakutan di wajah Tri sebelum meledakkan diri sempat tertangkap salah seorang polisi.

JOS R.-MIRZA A.-DWI, HASTI EDI

ILALANG memenuhi halaman rumah di kawasan Manukan Indah, Surabaya, itu. Tanaman liar tersebut juga muncul dari sela-sela lantai. Pagarnya juga berkarat.

’’Sudah sejak 2010 rumah itu memang dibiarkan kosong,’’ kata Bani Pranoto, ketua RW 3, Kelurahan Manukan Kulon, Kecamatan Tandes.

Di rumah itulah Anton Ferdiantono dan Dedy Sulistiantono alias Teguh dibesarkan. Dua terduga teroris tersebut tewas dalam dua kesempatan berbeda.

Anton (47) tewas setelah ditembak Densus 88 pada Minggu malam (13/5). Itu terjadi setelah dia lebih dulu terluka akibat bom rakitan di rusun yang ditinggalinya bersama keluarga di Rusunawa, Wonocolo, Sidoarjo. Akibat ledakan itu pula, istrinya, Puspita Sari (47) dan anak tertuanya, Hilta Aulia Rahman (17) tewas.

Pada hari yang sama, pada pagi harinya, tiga gereja di Surabaya juga menjadi sasaran pengebom bunuh diri yang semua merupakan anggota keluarga Dita Oepriarto. Sehari kemudian (14/5), Dedy alias Teguh, si adik, juga tewas dalam penggeberekan di rumahnya di Manukan Kulon.

Dita, Anton, dan Dedy semuanya berada dalam jaringan yang sama: Jamaah Ansharut Daulah. Begitu pula Budhi Satrijo yang tewas dalam penangkapan di rumahnya di Sukodono, Sidoarjo.

Berselang dua hari setelah penyerangan gereja, giliran Mapolrestabes Surabaya menjadi sasaran. Pelakunya Tri Murtiono yang mengajak serta istri dan ketiga anaknya.

Briptu Dimas Indra Syafrianto masih ingat betul ekspresi wajah Tri sesaat sebelum ledakan yang menewaskan Tri, istri, dan dua anaknya yang berboncengan dengan motor berbeda itu. Tatapan mata pelaku tampak kosong. Melirik kanan dan kiri. ’’Wajahnya ketakutan. Saya tahu persis itu,’’ katanya.

Dia menganggap wajah ketakutan itu wajar. Entah apa pun bentuk doktrin di dalam otak pelaku, akhirnya dia sendiri yang harus memutuskan hidup atau mati. ’’Pelaku itu mau mati juga takut. Takut sekali,’’ ungkapnya.

Begitu motor Tri berhenti, jari jempol Dimas ditempelkan ke bagian pengunci untuk bersiap membuka safe lock senapan. Dimas hendak mengokang senjata. Namun, ledakan mendahuluinya. Duarr!

Ada tiga polisi lain di lokasi ledakan saat itu. Dimas berada di belakang Bripka Ahmad Muaffan. Muaffan berada tepat di depan motor Honda Supra X yang dikendarai Tri. Sedangkan yang berdiri berurutan di samping Muaffan adalah Bripka Rendra dan Aipda Umar.

Setelah terjengkang karena ledakan, telinga Dimas berdengung. Pandangannya agak kabur. Sambil berdiri, senjata dikokang. Moncong laras panjang itu diarahkan ke mobil Toyota Avanza hitam yang berada persis di sebelah dua motor yang dikendarai Tri dan anak-anaknya.

Posisi telunjuk sudah masuk ke dalam bingkai pelatuk. Peluru siap dimuntahkan. Saat itu Dimas mengira ledakan berasal dari mobil.

Untung, sebelum peluru tajam dimuntahkan, tangan Aipda Umar menepis senjata Dimas ke bawah. ’’Tahan tembakan, tahan,’’ tiru Dimas separo berteriak.

Setelah pandangan matanya kembali fokus, dia baru melihat tubuh Muaffan dan Rendra ambruk. Mereka merintih kesakitan.

Saat Dimas bercerita kepada Jawa Pos, raut mukanya tampak kalut. Apalagi ketika menceritakan kondisi Muaffan.

Rekannya itu muntah darah. Sekujur tubuhnya berlumuran darah dan penuh luka. Dia terluka di bagian belakang kepala, tangan, dan dadanya. Hingga kemarin (16/5), Muaffan belum bisa diajak berbicara lama. Suaranya lirih. Dokter memintanya untuk fokus beristirahat.

Di lingkungan tempat dia mengontrak rumah di Jalan Tambak Medokan Ayu VI, Tri juga dikenal sebagai pribadi yang tertutup. Sehari-hari, dia jarang berinteraksi dengan warga sekitar. ’’Memang jarang interaksi. Tetapi, saya tidak melihat hal ganjil,’’ ujar Suwito, ketua RT 08, RW 02.

Saat pertama tinggal di rumah kontrakan tersebut, Tri seperti warga pada umumnya. Dia datang untuk melapor dan mem­berikan fotokopi kartu keluarga, KTP, serta surat nikah. Itu juga menjadi kali pertama dan terakhir dia berjumpa dengan ayah tiga anak tersebut.

Kecurigaan justru muncul dari Kasida. Seorang pengusaha galon yang menjadi langganan keluarga Tri. ’’Biasanya dia yang datang ke toko saya untuk membeli galon. Tetapi, sekitar sepuluh hari terakhir ini dia selalu minta pesan antar,’’ tuturnya.

Kali pertama mengantarkan galon, Kasida hanya bertemu dengan salah satu putra Tri. Dia diterima di depan pagar tanpa boleh menginjakkan kaki di teras. Kejadian itu membuat rasa penasaran dalam benak Kasida muncul.(*/c5/ttg)