25 radar bogor

477 Ribu Anak tak Sekolah

ILUSTRASI. SEMANGAT: Keberadaan sekolah relawan sangat membantu anak-anak Kampung Mulyasari, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, mengenyam pendidikan, kemarin (2/5). Arifal/Radar Bogor

CIBINONG–RADAR BOGOR,Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor harus berpikir keras untuk mewujudkan rata-rata lama sekolah (RLS) sembilan tahun. Sebab, angka partisipasi kasar (APK) di Kabupaten Bogor masih minim.

Badan Perencanaan Pem­ba­ngunan Daerah Penelitian dan Pembangunan (Bappe­dalit­bang) Kabupaten Bogor men­catat, anak usia rata-rata SMP tercatat sekitar 1,06 juta jiwa. Namun, 40 persen di an­taranya atau sekitar 477 ribu jiwa justru tidak sekolah.

”APK pen­didikan menengah baru 60 persen,” ujar Bupati Bogor Nurhayanti.

Ia melanjutkan, intervensi anggaran yang dilakukan Pem­kab Bogor terhadap dunia pen­didikan sudah cukup ting­gi. Dia bahkan mengklaim men­jadi yang tertinggi se-Jawa Barat. Dari porsi belanja langsung dalam APBD saja, rata-rata digelontorkan berkisar Rp1-1,5 triliun per tahunnya untuk pendidikan.

”Jika partisipasinya rendah, kembali lagi pada masyara­katnya, kesadaran untuk me­nge­nyam pendidikan tinggi harus dibangun. Karena pe­merintah sudah menyiapkan fasilitas,” katanya lagi.

Terpisah, Kepala Dinas Pen­didikan (Disdik) Kabupaten Bogor TB Luthfie Syam menga­takan, salah satu upaya mene­kan angka putus sekolah adalah me­ningkatkan aksesibilitas me­nuju sekolah. Selain itu menggelar pendidikan kelas jauh, kelas terbuka, dan kelas satu atap.

Namun, pendidikan for­mal semacam itu diakuinya tetap tidak bisa menutup lu­bang-lubang tersisa yang sebagian­nya telah berhasil ditutup le­wat program Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Maka, Disdik membentuk pendidikan non-formal lewat 46 Pusat Kegiatan Belajar Mas­yarakat (PKBM) yang ter­sebar di 40 kecamatan untuk men­jaring peserta mengikuti prog­ram kejar paket A, B, dan C. ”Sekarang ada KIP. Tapi ma­­sih ada saja lubang yang ter­ting­gal dan itu kami tutupi dengan pendidikan non-formal,” kata Luthfie.

Ia menilai, Kabupaten Bogor memiliki keunikan tersendiri, yakni luas wilayah yang de­mi­kian besar dan jumlah pen­duduk yang banyak, turut men­jadi faktor tingginya anak putus sekolah. Belum lagi, kekuatan ekonomi keluarga yang terbilang lemah.

”Makanya kami kejar aksesibilitasnya. Sudah mah keluarganya susah, sekolah pun jauh. Masalah ekonomi di sini bukan karena biaya sekolah. Tapi untuk trans­portasinya,” ungkapnya.

Selain itu, disdik juga bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menekan angka putus sekolah. Seperti tokoh mas­yarakat, MUI, serta pesantren. Sebagai catatan, angka putus sekolah Pemkab Bogor pada 2016, tercatat 3.941 anak di setiap jenjang (SD-SMA). Kemudian, angka itu turun 1.000 siswa pada 2017. Artinya, masih tersisa ribuan anak yang putus sekolah.(wil/c)