25 radar bogor

Tetap Semangat dalam Keterbatasan

Arifal Radar Bogor BERBARIS: Anak-anak Kampung Mulyasari, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamamur sedang menjalani kegiatan belajar di sekolah nonformal, kemarin (2/5).

Mentari menyapa dataran tinggi Puncak II, Kecamatan Sukamamur, Kabupaten Bogor. Pagi kemarin (2/5) menunjukkan pukul 07.00 WIB.

Seperti biasa, Amsor (10) anak asal RT 05/01, Kampung Mulya-sari, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, memulai aktivitasnya. Mengenakan celana pendek dan kaus kumal, ia berangkat menuju kebun dan sawah. Biasanya, mereka langsung membawa peralatan untuk menyirami kebun dan memberi pupuk.

Ya, di Kampung Mulyasari, anak-anak mengalami putus sekolah. Di kala anak-anak lain pergi mengenyam bangku sekolah, anak-anak di perkampungan terisolasi tersebut harus disibukkan dengan bekerja.

“Di sini tidak ada sekolah. Jadi, setiap hari bantu orang tua,” aku Amsor.

Nasib tersebut bukan hanya dialami oleh Amsor. Data dari Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, ada 51 anak bernasib serupa.

Beruntung, tokoh agama Desa Sukamulya, Solih dan Bhabinkamtibnas Polsek Sukamakmur, Brigadir Buana Adi Putra tergugah hatinya. Kini, dua pria tersebut benar-benar telah membuka kehidupan baru, dengan memberikan pembelajaran nonformal kepada 51 anak-anak di sana.

Meski berada dalam keterbatasan, anak-anak yang tinggal di Kampung Mulyasari tetap semangat belajar. Walaupun, mereka belum mendapat kesempatan belajar berkualitas.

Brigadir Buana Adi Putra mengungkapkan, anak-anak di perkampungan Mulyasari sangat haus akan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

“Itu yang membuat kami membuka kelas nonformal bagi anak-anak di sana,” tuturnya.

Walau bukan sekolah formal, kegiatan belajar mengajar di sana cukup membuat anak-anak Mulyasari tersenyum. Terbukti, setiap hari anak-anak memadati sebuah ruangan berukuran 5 x 5 meter berdinding papan di tengah kampung mereka.

“Kami memulai belajar pukul 09.00 sampai 11.00 WIB. Itu dilakukan karena pagi-pagi, anak di sana membantu orang tua di kebun terlebih dahulu,” tutur Buana.

Meski berada di tengah keterbatasan, untuk belajar saja mereka tak memiliki bangku dan hanya beralaskan lantai semata. Sedangkan untuk buku, mereka mendapatkannya dari pemberian relawan atau donatur.

“Saya harap ke depan sekolah itu bisa menjadi sekolah formal. Jangan sampai ada yang putus sekolah lagi,” tukasnya.(all/c)