25 radar bogor

Sanggar Anak Alam, Sekolah Berkonsep Membebaskan Anak Pelajari yang Disuka

FOTO: Angger Bondan/Jawa Pos SEMANGAT: Sri Wahyaningsih (baju cokelat) pendiri Sanggar Anak Alam (SALAM) berfoto dengan para siswa SD di daerah Kasihan Bantul Yogyakarta.

Hati Sri Wahyaningsih tergugah karena melihat banyaknya anak putus sekolah dan pernikahan dini di desa sekitar tempat tinggalnya. Kemiskinan jadi akarnya. Dia pun kembali ke desa, dekat dengan anak-anak, mengajak berdiskusi, hingga menemukan metode belajar secara merdeka.

NORA SAMPURNA, Bantul

SUATU hari pada 1988 di Desa Lawen, wilayah terpencil di Jawa Tengah. Akses menuju ke sana sulit, listrik belum masuk. Sri Wahyaningsih yang ketika itu baru setahun menikah dengan aktivis LSM Toto Rahardjo mengamati banyaknya anak putus sekolah dan pernikahan dini di desa yang merupakan daerah asal sang suami tersebut. ”Saya keliling SD-SD, banyak murid yang mrotoli. Kelas I–III bisa 50 anak, tapi di kelas V-VI tinggal 8 atau 10. Paling banyak 15 murid,” terangnya saat dijumpai di kediamannya, Nitiprayan, Bantul, Jogjakarta, pada 13 April.

Wahya –sapaan Sri Wahyaningsih– mencoba untuk mengajak warga desa bicara. Kemiskinan yang menjadi akarnya. ”Mereka bilang, buat apa sekolah. Toh, sekolah tidak menjawab apa-apa. Anak-anak nantinya juga jadi buruh pabrik. Pertanian tidak bisa diandalkan,” tutur perempuan kelahiran Klaten, 19 Desember 1961, tersebut. Padahal, Lawen merupakan daerah subur.

Wahya, yang ketika itu bekerja membantu sastrawan dan budayawan Romo Mangunwijaya di Code, Jogjakarta, memutuskan untuk menetap di Lawen. Meski, ketika itu sang suami ditugaskan ke NTT.

”Saya diantar langsung oleh Romo Mangun. Sepanjang jalan, beliau cerita masa perjuangan dan kontribusi masyarakat desa. Itu semakin menguatkan saya untuk kembali ke desa,” kenangnya.

Di Lawen, alumnus Akademi Keuangan dan Perbankan (AKUB) Jogjakarta tersebut cepat dekat dengan anak-anak. Dia membawa buku-buku bacaan. ”Ngumpulnya di pendapa rumah mertua saya. Ada 160-an anak,” katanya. Pada prinsipnya, anak-anak masih bersemangat sekolah. Tidak ingin menikah dini. Tapi, mereka tidak punya pilihan. Dari pertemuan itu, Wahya melihat, masih banyak yang tertatih-tatih membaca. Padahal, usia mereka setara siswa kelas V atau VI SD. Namun, mereka bersemangat jika diminta untuk bercerita.

”Itu jadi pintu masuk saya. Anak-anak saya minta mengamati apa yang mereka temui di perjalanan, sorenya didiskusikan,” tutur dia. Hasilnya membuat dia takjub. Anak-anak tersebut sangat peka dan kritis. Ada yang bercerita, ”Tadi aku lewat pasar, ternyata kami punya pasar. Tapi, yang jualan bukan orang sini, kebanyakan orang kota. Yang dijual juga bukan produk kami.” Yang lain berujar, ”Tadi lewat ladang, banyak tanaman seperti pisang, singkong, dan ubi yang busuk, nggak dipanen karena harga jual sangat murah.”

Wahya dibikin takjub oleh anak-anak tersebut. Mereka bisa mengungkapkan pendapat dengan kritis meski masih sulit membaca. Dari situ, muncul gagasan untuk membuat sesuatu. Anak-anak antusias mengolah singkong, ubi, dan pisang jadi ceriping atau sale. Juga, tape dan kerupuk dari singkong. ”Anak-anak minta izin orang tuanya bawa bahan-bahan itu, lalu saya ajak praktik bikin,” kata Wahya.

Awalnya, hasilnya dikonsumsi sendiri. Lalu, anak-anak melontarkan ide untuk menjual hasil olahannya. Selama tujuh bulan, uang yang terkumpul dari penjualan lebih dari Rp1 juta. Para orang tua pun tertarik untuk ikut beraktivitas. Terbentuklah rembuk warga hingga kelompok tani dengan konsep arisan tenaga. Warga yang dulu terjerat rentenir perlahan-lahan bisa terbebas dan menjadi lebih produktif.

Seperti pendekatannya terhadap anak-anak, Wahya meminta para orang tua untuk riset. Warga mendata hasil alam yang belum dioptimalkan. Ada teh dan kopi yang kemudian diolah dan dipasarkan.

”Lama-lama, anak-anak bilang, ’Kita sudah lama berkegiatan, tapi belum punya nama.’ Terus, ada yang nyebut, ’Kita anak alam,’” tutur Wahya. Dari situ, muncul sebutan Sanggar Anak Alam yang disingkat Salam. Tanggal 17 Oktober 1988 ditandai sebagai hari lahir Salam.

Dari Lawen, Wahya kemudian pindah ke Kampung Nitiprayan yang merupakan kampung seniman pada 1996. Dia melihat, remaja yang putus sekolah juga cukup banyak. Karena didapuk sebagai ketua RT, pada 2000 Wahya memulai aktivitas pendampingan remaja dengan menyediakan ruang belajar untuk jurnalistik, lingkungan, dan seni budaya. Melalui kelas jurnalistik, anak-anak belajar berdiskusi, mengasah sisi kritis. Pada kelas lingkungan, mereka belajar mendaur ulang sampah. Untuk seni budaya, dia menghidupkan lagi pesta panen. Anak-anak yang putus sekolah maupun yang masih bersekolah formal antusias mengikuti pembelajaran.

Tak jarang, anak-anak membawa PR dari sekolah. Dari situ, Wahya mengamati, banyak hal yang kurang relevan dengan kehidupan dan kebutuhan. ”Bagaimana cara bersikap, bagaimana menemukan solusi untuk kehidupan, itu justru nggak muncul,” paparnya. Tebersit ide untuk membentuk sekolah dengan konsep membebaskan anak untuk mempelajari hal-hal yang mereka suka, diawali dari kelompok bermain pada 2004.

Pendidikan tersebut mencakup empat inti. Yaitu, pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Mengawali Salam dari rumah kontrakan di tengah sawah, yang dilakukan Wahya menyedot perhatian banyak orang. Pada tahun pertama, banyak yang bergabung sebagai fasilitator, pendamping anak belajar.

Dua tahun kemudian warga mendorong untuk dilanjutkan ke jenjang TK. Berkembang dengan membikin SD pada 2008. Hingga ke jenjang SMP dan SMA. Salam menerapkan Trisentra pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa yang menjadi pusat pendidikan adalah lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. ”Masuk Salam, yang diseleksi orang tua, bukan anaknya. Karena orang tualah pendidik utama,” papar Wahya.

Berbeda dengan sekolah alam pada umumnya, konsep Salam adalah belajar keseharian, melalui riset, melalui sesuatu yang riil. Salam mengambil kompetensi dasar dari kurikulum. ”Selebihnya perspektif pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya tadi,” urainya. (*/c11/oki)