25 radar bogor

Kisah Anastasia Wella, Penderita Dissociative Identity Disorder, yang Hidup dengan 10 Kepribadian (1)

Anastasia Wella sempat dianggap kesurupan sehingga dibawa ke tiga ”orang pintar” yang berbeda. Pernah jadi korban perundungan ekstrem semasa di sekolah dasar.

HENDRA EKA, Jakarta

Tak ada yang mengenal Anastasia Wella di lingkungan kos-kosan di kawasan Jakarta Pusat itu. Bukan karena dia penghuni baru. Atau tak pernah berso­sialisasi dengan yang lain.

Tapi, karena semua penghuni kos di kawasan Jakarta Pusat itu mengenalnya sebagai Ayu. ”Waktu itu Ayu yang milih kos-kosan ini. Jadi, saya tinggal menempati saja,” ujarnya kepada Jawa Pos (Grup Radar Bogor) yang menemuinya pada Jumat akhir Maret lalu (30/3).

Ayu adalah alter alias kepribadian lain dari Wella. Lajang kelahiran Surabaya, 28 tahun lalu, itu menderita dissociative identity disorder (DID). Atau yang dulu dikenal sebagai multiple personality disorder. Sebuah gangguan jiwa langka di dunia.

Mengutip situs Psychology Today, penderita DID memiliki minimal dua alter. Semacam Dr Jekyll dan Mr Hyde, dua karakter dalam satu tubuh yang ada di Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde, novel legendaris karya sastrawan Skotlandia Robert Louis Stevenson.

Wella punya total sepuluh kepribadian dalam dirinya. Selain Anastasia Wella sebagai host atau tuan rumah jiwanya, ada Ayu, Naura, Atin, Saraswati, Bilqis, Andreas, Paula, Ravelline, dan Siana.

Sebagaimana umumnya pemicu DID, yakni trauma masa kecil, Wella juga mengalami perundungan ekstrem dari teman-teman di sekitarnya. Puncaknya ketika kelas IV SD pada 1999, Wella mengalami split identity (perpindahan identitas) untuk kali pertama.

Wella tidak ingat kala itu dia menjadi siapa. Dia hanya merasakan jantung berdebar kencang, insomnia, migrain, dan tremor atau tangan bergetar sendiri secara tidak sadar.

Ketika itu dia juga belum paham jika ada sesuatu yang salah dalam dirinya. ”Saya agak nggak runut soal ingatan,” katanya.

Mengutip situs lainnya, Merck Manuals, pada penderita DID biasanya memang ada ”lubang” ingatan tentang periode tertentu dalam di masa lalu mereka. Entah masa kecil atau ketika beranjak dewasa.

Setelah beberapa kali mengalami split identity, pada 2007 Wella memberanikan diri untuk memberi tahu orang tua. Tapi, dia malah dikira kesurupan.

Ibunya pun lantas membawa Wella ke ”orang pintar”. Bahkan sampai tiga kali. ”Analisis” mereka macam-macam.

Yang pertama mengatakan bahwa penyakitnya bisa dipindahkan ke hewan. Yang kedua lebih seram lagi: katanya, ada kuntilanak yang menempel dalam diri Wella.
Dia pun diminta meminum segelas air putih yang dicampur sebongkah kemenyan. Wella menolak, bahkan langsung lari ke dalam mobil.

”Memangnya dikira aku ini jaranan apa, disuruh minum air menyan segala,” kata penggemar berat grup band Radiohead dan Dream Theater itu.

Pada percobaan ketiga, ibunda Wella hanya disuruh untuk membakar dupa pada waktu menjelang magrib. Untuk mengusir hantu, kata si orang pintar.

Namun, seperti juga di percobaan pertama dan kedua, hasilnya nihil. ”Pokoknya, saya misuh-misuh setiap pulang dari orang pintar,” ujar mantan staf ahli anggota DPR itu.

Berat badannya bahkan sampai turun 18 kg akibat mengikuti penyembuhan holistik itu. Akhirnya orang tua Wella membawanya ke dokter spesialis jantung di sebuah rumah sakit di Sidoarjo.

Wella didiagnosis hanya mengalami disharmoni jantung alias deg-degan. Tak puas dengan penjelasan sang dokter, Wella pun menyambangi dokter spesialis saraf.

Hasilnya? Tetap belum memuaskan rasa penasaran Wella. Terakhir, dia mendatangi dokter spesialis penyakit dalam. Di sana dia diklaim hanya mengalami sakit mag.

Namun, berbulan-bulan sakit mag itu tak kunjung sembuh. Akhirnya si dokter penyakit dalam tersebut merujuk Wella ke psikiater.

Kali ini dia disebut mengalami psikosomatik alias penyakit fisik yang disebabkan faktor mental. ”Terus cuma dikasih obat antidepresi,” kata penyuka lontong balap itu.

Sejauh ini belum ada data pasti berapa persisnya penderita DID di Indonesia dan dunia. Ada yang menyebut 0,0001 persen dari penduduk dunia atau sekitar 750 orang saja.

Kelangkaan itulah yang membuat pemahaman akan DID minim sekali. Jadilah penderita DID seperti hidup dalam dunia yang tak satu pun orang memahaminya.
Mungkin itu pula yang menjadi penyebab, mengutip Psychology Today, 70 persen penderita DID berusaha bunuh diri. Atau setidaknya akrab dengan perilaku yang membahayakan diri.

Nah, dalam upaya mencari penyembuhan itulah, Wella akhirnya membulatkan niat untuk berobat ke Jakarta pada 2009. ”Pokoknya nekat ke Jakarta saya itu. Saya kayak mati, nggak bisa, nggak bisa saya (menahan rasa penasaran untuk berobat, red),” ujarnya.

Persoalannya, tiap kali salah satu alter-nya tak berkenan diperiksa, batallah dia berkonsultasi ke dokter. Bergantung mood.

Total dia sampai sebelas kali gonta-ganti dokter. Dengan diagnosis mayoritas menyebut dia mengalami panic attack dan bipolar.

Hingga akhirnya, pada Maret 2013, dia bertemu dengan dr Ni Wayan Ani Purnamawati SpKJ, dokter ke-12 yang membimbingnya hingga kini. Setelah menduga memiliki alter ego, dokter Wayan lantas mewawancarai ibunda Wella dan orang-orang yang biasa bergaul dengannya. Itu dilakukan untuk memastikan bahwa Wella tidak memanipulasi keterangan tentang keluhan sakitnya.

Setelah beberapa kali wawancara, pada 2015 Wella pun didiagnosis mengalami DID. Wella sempat menolak dan tidak percaya. Namun, dokter Wayan meyakinkan Wella bahwa dia harus percaya dan menerima kelainan dalam dirinya jika mau meneruskan proses penyembuhan.

Wella pun menjalani beberapa terapi penyembuhan. Salah satunya dengan mencatat dan merekam semua gerak-geriknya. Dari catatan dan rekaman itu, Wayan berhasil mengidentifikasi bahwa Wella ternyata memiliki sepuluh kepribadian.

”Setiap alter ego punya fungsi tertentu untuk menghadapi masalah yang tidak mampu dihadapi host personality,” ujar Wayan yang praktik di Rumah Sakit Jiwa Islam (RSJI) Klender, Jakarta, itu, kepada Jawa Pos dalam wawancara terpisah.

Selain mencatat dan merekam aktivitasnya, Wella menjalani terapi menggambar dan berlatih olahraga panahan. Itu dilakukan untuk meredam emosi dan bisa mengontrol fokus. Jadi, bisa lebih bijak saat kepribadiannya berganti secara tiba-tiba.

Atas saran psikolog, dia juga memelihara seekor kucing persia untuk memberikan ketenangan dalam diri. ”Suara kucing itu bisa bikin saya tenang. Kalau lagi emosi, saya elus-elus kucing, jadinya tenang lagi,” kata Wella yang akhirnya pacaran dengan atlet panahan tersebut.

Melihat kerumunan orang dalam jumlah banyak bisa juga menjadi terapi khusus untuk Wella. Kebetulan dia seorang Bonita alias Bonek Wanita, fans berat Persebaya.
Jadilah, pada Maret 2017 Wella bersama sang pacar, Yoandy Arief Pratama, rela jauh-jauh datang ke Stadion Maguwoharjo di Jogjakarta. Mereka menonton aksi Persebaya melawan Cilegon United pada final Dirgantara Cup 2017.
Di dalam stadion, Wella meluapkan emosinya dengan meneriakkan dukungan kepada tim kesayangan. Berteriak diyakini Wella bisa menghilangkan cemas dan bisa menenangkan diri.

”Seneng banget Persebaya menang 2-0. Jadi makin semangat teriaknya,” kata mantan model kalender itu.

Menurut dokter Wayan yang saat ini menangani tiga pasien DID, pengobatan utama tetap dengan menggunakan terapi yang dikombinasi dengan psikofarmaka. Atau obat yang berkhasiat terhadap SSP (sistem saraf pusat) dengan memengaruhi fungsi-fungsi psikis (rohaniah) dan mental.

”Kalau dia (pasien) depresi, diberikan obat antidepresan. Kalau cemas, diberikan obat anticemas,” katanya.

Hingga sekarang, setiap bulan Wella masih berkonsultasi ke dokter di Rumah Sakit Jiwa Islam Klender, Jakarta. Tiga jenis obat seharga Rp120 ribu menjadi makanan wajib setiap hari.

Dalam sebulan, dia menghabiskan biaya sekitar Rp4 juta untuk keperluan konsultasi dokter dan obat-obatan. ”Pokoknya mahal obatnya,” kata Wella. (*/c10/ttg)