25 radar bogor

Hampir Dua Hari Mengarungi Sungai demi Persiapan Ikut Ujian Nasional Berbasis Komputer

DEMI MASA DEPAN: Para murid SMAN 10 Malinau saat hendak berangkat menuju Tanjung Selor (25/3).

Tanpa internet dan cuma punya satu komputer yang berfungsi, para siswa SMA di pedalaman Kalimantan Utara harus merantau puluhan hari ke ibu kota provinsi. Berbekal beras, cabai, kunyit, dan serai.

FITRIANI, Tanjung Selor

YANG tampak di depan mata hanya gelap yang secara susah payah ditembus lampu senter. Padahal, Sungai Bahau, tempat longboat melaju, terkenal ganas. Banyak giram. Sudah banyak korban.

”Harusnya kami memang menginap dulu di desa terdekat dari Tanjung Selor,” kenang Lenggang Inggi tentang perjalanan berbahaya pada Senin malam (26/2) itu.

Bersama Lenggang yang juga kepala SMAN 10 Malinau itu, 11 siswa dan 2 guru lain dari sekolah yang dia pimpin tersebut. Berangkat dari Desa Long Alango di pelosok Kalimantan Utara, mereka tengah menuju ibu kota provinsi termuda di Indonesia itu.

Lenggang meminta motoris untuk terus jalan ke Tanjung Selor karena pakaian dan barang bawaan para murid serta guru banyak yang basah. Karena itu, dirasa percuma kalau menginap.

”Jadi, saya minta motoris pelan-pelan saja dengan mengandalkan senter sebagai penerangan,” katanya kepada Radar Kaltara (Grup Radar Bogor).

Tanjung Selor akhirnya berhasil dicapai pada sekitar pukul 21.00 Wita. Setelah melalui perjalanan panjang nan penuh bahaya mulai Minggu pagi (25/2). Hanya agar ke-11 murid SMAN 10 Malinau bisa mengikuti ujian nasional berbasis komputer (UNBK).

Mereka akan menumpang di SMAN 1 Tanjung Kelor sampai waktu UNBK tiba pada 9–12 April. Berarti sekitar 40 hari.

Itu terpaksa mereka lakukan karena keterbatasan fasilitas sekolah yang berada di pelosok Malinau, persisnya di Kecamatan Bahau Hulu, tersebut. Padahal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah menargetkan bahwa pelaksanaan UNBK tahun ini harus 100 persen diterapkan di tingkat SMA/SMK sederajat

Persoalannya, SMAN 10 Malinau yang belum lama berdiri hanya memiliki tiga unit komputer. Dua di antaranya rusak.

”Jika pelajaran komputer, pelajar harus bergantian menggunakan satu unit yang masih baik. Termasuk menggunakan laptop guru yang ada,” tuturnya.

Jaringan internet? Sangat sulit diakses. Meski pihak desa sudah menghidupkan mesin tower yang menggunakan genset, sinyalnya terkadang tidak muncul hingga sepekan.

Padahal, untuk menghidup­kannya, dibutuhkan solar. ”Harganya cukup tinggi, sekitar Rp20 ribu per liter,” jelas Lenggang.

Opsi lain, para pelajar kelas XII tersebut bisa saja menumpang di salah satu sekolah di Malinau. Namun, meski satu kabupaten, biayanya ternyata jauh lebih mahal ketimbang ke Tanjung Selor.

Untuk sampai ke Malinau, tutur Lenggang, pihaknya harus mengeluarkan biaya pesawat Rp1,6 juta per orang. Itu pun penumpang harus full. ”Kalau hanya satu dua tidak akan jalan. Bisa jalan asalkan dicarter dengan biaya puluhan juta,” kata Lenggang.

Karena itu, pilihan terbaik adalah ke Tanjung Selor melalui sungai. Tapi, ya itu tadi, butuh perjalanan hampir dua hari. Penuh bahaya. Juga, tidak bisa dibilang sepenuhnya murah.

Beruntung, masyarakat serta pemerintah desa dan kecamatan bergotong royong membantu. Tarif longboat, misalnya, untuk 11 murid plus 3 guru hanya dikenakan Rp6,5 juta. Padahal, normalnya Rp700 ribu–Rp800 ribu per orang.

Maka, pada Minggu pagi lalu, dimulailah perjalanan panjang itu. Bagi Farel Lukas, salah seorang murid, itu perjalanan pertamanya ke ibu kota. ”Awalnya takut ke sini (Tanjung Selor, red) karena banyak giram dan perjalanannya menantang,” katanya.

Tapi, karena akan mengikuti ujian, dia membulatkan tekat. ”Dan, syukur saya juga tahu berenang,” ujar sulung di antara empat bersaudara itu.
Setelah melewati perjalanan yang cukup ekstrem, karena ada beberapa titik giram, mereka harus menginap dulu satu malam di Desa Long Paliran. Keesokan harinya, rombongan baru melanjutkan perjalanan dari Long Paliran menuju Tanjung Selor.

Rute yang mereka lewati lebih ekstrem. Masih ada beberapa titik giram. Beberapa kali seluruh penumpang harus turun dan berjalan kaki di tepi sungai yang dipenuhi bebatuan. Hingga sampai pada titik yang sudah aman untuk longboat melaju kembali.

Sampai akhirnya tiba juga di Tanjung Selor. Mereka menginap di rumah kontrakan salah seorang warga Long Alango. ”Kebetulan kosong. Jadi, kami dipersilakan menempati,” katanya.

Bukan berarti persoalan selesai. Untuk 40 hari ke depan, para murid dan guru mesti pintar-pintar berhemat. Sebab, uang saku terbatas.

Untuk itu, tiap murid membawa bekal masing-masing 15 kilogram. Sedangkan bahan lainnya seperti kunyit, cabai, serai, dan beberapa bahan lainnya hasil tanaman orang tua.

”Di sini ada keluarga. Jadi, tidak terlalu,” kata Sulau Lugi, murid lainnya.

Sedangkan bagi Farel, selain tak punya keluarga di Tanjung Selor, ini juga untuk kali pertama berpisah dari orang tua dalam waktu lama. ”Mudah-mudahan adik kelas kami tak perlu mengalami seperti yang kami alami sekarang ini,” katanya.(*/eza/JPG/c10/ttg)