25 radar bogor

Kenalkan Keberagaman dan Toleransi sejak Dini

ilustrasi keberagaman sejak dini

JAKARTA-RADAR BOGOR, dan tinggal di Indo­nesia berarti harus siap de­ngan beragam latar belakang bu­daya. Anak dituntut mampu memaklumi perbedaan tersebut. ”Kebera­gaman itu sudah sepaket dengan toleransi. Sebab, toleransi adalah sikap yang diharapkan muncul ketika menanggapi perbe­daan, baik yang fisik mau­pun tersirat,” ucap psikolog Asteria R. Saroinsong SPsi.

Dia menyatakan, sikap toleransi bisa diajarkan dari rumah. Sejak dini, anak bisa dilatih untuk merespons keberagaman. Sebab, di bawah usia 2 tahun, si kecil sudah bisa mengenali perbedaan.

”Untuk usia 0–2 tahun, sesuai teori kognitif Piaget, anak masuk tahap sensorik-motorik. Mereka bisa membedakan hal-hal yang konkret dan bisa diamati,” jelasnya.

Psikolog yang berpraktik di Layanan Psikologi Bijaksana itu mencontohkan, anak mulai bisa membedakan warna, bentuk, dan ciri fisik lain. Meski, sering kali mereka tidak mengungkapkan lantaran keter­batasan kosakata. ”Misalnya, si A rambutnya pendek, sementara rambutku panjang. A pakai sepatu biru, B pakai sepatu putih,” lanjutnya.

Hal serupa diungkapkan Henricus Hari Santoso SPsi. ”Anak tahu bahwa ada hal-hal yang berbeda, tapi tidak mendalam. Memasuki usia 4–5 tahun, barulah mereka mempertanyakan. Contohnya, kok tasku beda sama temanku, kenapa?” beber Hari, sapaan akrabnya. Dia menambahkan, keingintahuan anak akan berkembang seiring bertam-bahnya usia. Nah, orang tua serta guru perlu membekali si kecil dalam menghadapi lingkungan yang serba-berbeda itu.

Psikolog untuk Middle Year Programme di Sekolah Ciputra itu berpendapat, orang tua bisa mengenal­kan anak pada konsep keberagaman dari keluarga. Tiap anggota keluarga tentu punya penampilan dan kesukaan ber­beda, tapi tetap bisa akrab. ”Ajarkan kepada anak, berbeda itu tidak apa-apa. Meski tidak sama, setiap orang sama-sama ciptaan Tuhan yang harus dihormati dan dihargai,” tegasnya.

Hari menjelaskan, orang tua juga bisa mengenalkan kebe­ragaman lewat perayaan hari besar. Misalnya, momen Tahun Baru Imlek untuk keturunan Tionghoa, Natal buat pemeluk Nasrani, Idul Fitri untuk muslim, dan lain-lain.

”Nggak perlu yang mendetail. Ajak anak mengenali kenapa ada perayaan itu dan maknanya buat mereka yang merayakan,” tegas alumnus Universitas Airlangga, Surabaya, tersebut.

Di samping itu, orang tua perlu menjadi contoh buat si kecil kala menghadapi perbedaan. Asteria menilai, toleransi tumbuh dari pengamatan anak di lingkungan sekitar. ”Kalau orang tua terbuka, berlaku baik, dan menghargai orang lain tanpa membedakan, anak akan mencontoh. Mereka akan berlaku demikian di kondisi yang sama,” katanya. Ayah dan ibu, lanjut dia, perlu memperhatikan tuturannya saat berada di dekat anak.

Perempuan yang juga aktif sebagai penyiar radio itu menyayangkan sikap orang tua yang sering melakukan diskriminasi secara verbal.

”Kadang orang tua nyeletuk, ’oh, dasar si A gemuk’ atau memanggil orang lain selain nama, seperti ireng (hitam, red) tanpa sadar,” ucapnya.

Meski sifatnya bercanda, menurut Asteria, hal tersebut sebaiknya dihindari. Hari maupun Asteria menegaskan, orang tua memegang peran besar dalam mengajarkan konsep keberagaman. Pembiasaan tersebut juga berdampak ketika mereka beranjak dewasa. ”Mereka mampu beradaptasi dengan lebih baik dan cepat. Hal itu bakal membantu ketika mereka bekerja atau hidup di luar kampung halamannya,” ungkap Hari. (fam/c7/ nda)