25 radar bogor

Jejak ‘Naga’ di Buitenzorg

TEMBOK CINA ALA BOGOR: Kawasan ’’pecinan’’ yang tak pernah sepi di Kota Bogor yakni Jalan Suryakencana.
TEMBOK CINA ALA BOGOR: Kawasan ’’pecinan’’ yang tak pernah sepi di Kota Bogor yakni Jalan Suryakencana.

BOGOR-RADAR BOGOR,Imlek membawa kemeriahan tersendiri bagi warga Bogor. Tepatnya ketika warga Tionghoa mengajak seluruh lapisan masyarakat Bogor ikut memeriahkan dan terlibat dalam perhelatan pesta rakyat Cap Go Meh. Semua usia terlibat, tanpa memandang suku, agama ataupun ras.

CAP Go Meh menyimpan bukti sejarah panjang eksisnya warga Tionghoa di Kota Hujan. Jauh sebelum Handlestraat (Jalan Suryakancana) ramai sebagai kawasan niaga pada 1817, warga Tionghoa sudah hidup bersama dengan warga Sunda sambil membakar hio (dupa) di Kelenteng Pan Kho Bio, kawasan Pulogeulis, pada masa 1619–1743 atau tiga abad silam.

Secara historis, kedatangan orang Tiongkok ke wilayah Jawa Barat terjadi pada 414 Masehi. Dalam perjalanan pulang dari India ke negerinya, Fa Hien, seorang pendeta Buddha, terdampar di Kerajaan Tarumanegara. Meski tidak ada bukti sahih atau catatan jelas siapa orang Tionghoa pertama yang menginjakkan kaki di Kota Bogor, tapi sebagian warga Tionghoa percaya bahwa Suku Hokien (Suku Perantau, red) yang pertama kali berdomisili di Kota Bogor.

Aroma peninggalan masyarakat Tionghoa juga bertebaran di Jalan Suryakancana. Jalan ini ibaratnya the great wall atau tembok raksasa Tiongkok yang ada di Bogor. Bedanya, jika tembok raksasa dibangun untuk mencegah serangan bangsa nomad, Handlestraat atau Jalan Perniagaan ini dibangun untuk mengotak-ngotak warga Tionghoa dengan warga Sunda dan warga kulit putih (Belanda).

Menurut pemerhati budaya Tionghoa Bogor, Baba Mardi Lim, pada zaman kolonial, permukiman di Bogor ditata dan disegregasi berdasarkan warna kulit agar lebih mudah diatur atau sistem wijkenstelsel. Sistem ini kemudian melahirkan pemukim Tiongkok.

“Jadi, ketika masyarakat Tionghoa mau ke Kampung Arab, maka harus menggunakan paspor yang dicap Belanda dan bayar. Mereka takut peleburan etnis di Buitenzorg mengancam keberlangsungan Belanda, sehingga membatasi dan memagari setiap kawasan,” terang Baba Lim.

Jalan Suryakancana terletak tegak lurus dengan Kebun Raya Bogor, bersimpangan dengan Jalan Otto Iskandardinata dan Jalan Ir H Juanda. Menurutnya, jalan ini sebagai jalur satu-satunya menuju kawasan Puncak dan menjadi urat nadi perekonomian Kota Bogor.

Penelusuran masuknya etnis Tionghoa di Kota Bogor, kata dia, tidak terlepas dengan keberadaan Vihara Mahabrahma (Kelenteng Pan Kho Bio) di Pulogeulis yang dibangun dalam fase 1619–1743. Inilah tempat ibadah tertua komunitas Tionghoa di Kota Bogor. Yang kini dihuni oleh orang Sunda, Tionghoa, Arab, dan pendatang yang kemudian berasimilasi.

Belum diketahui secara pasti kapan kelenteng itu berdiri karena tidak tertera angka tahun, hanya ditemukan inskripsi tertua yang ditemukan pada tahun 1980-an berasal dari tahun 1883. Namun, menurut Baba Lim, keberadaan kelenteng ini bisa lebih tua lagi.

“Dewa Pan Kho dipuja serta dipuji oleh orang-orang Tiongkok kuno. Artinya, jika ada sosok Dewa Pan Kho di kelenteng tersebut, berarti keberadaannya sudah sejak zaman dahulu kala. Karena memang di zaman-zaman selanjutnya dewa tersebut tidak terlalu populer,” katanya.

Pemuja Dewa Pan Kho kebanyakan berasal dari orang yang mata pencahariannya bukan pedagang, melainkan petani yang bercocok tanam. Mereka diizinkan untuk menetap dan mendirikan tempat beribadah di luar benteng Kerajaan Pajajaran dan hidup berbaur dengan warga Sunda.

Walaupun peninggalan tertulis tidak ada, terdapat tiga batu dari zaman megalitikum di Kelenteng Pan Kho Bio yang sudah berumur ratusan tahun yang dijadikan monolit, sedikit menguak lembar sejarah. Kini, ketiga batu itu digunakan sebagai batu petilasan. Ketiga batu tersebut diberi nama sesuai dengan nama penjaganya dahulu, yaitu Eyang Jayaningrat, Eyang Sakee, dan yang paling besar adalah Embah Raden Mangun Jaya.

Tiga batu tersebut adalah peninggalan dari zaman Pakwan Pajajaran, sedangkan dari etnis Tionghoa, ada Yoni (lambang kesuburan wanita dan pria, red), arca Hindu, patung Kwan Im, dan tempat dupa berbahan logam kuningan,” bebernya.

Kini, setiap perayaan Imlek adalah momen warga Tionghoa lebih mendekatkan diri dengan sesama. Serba-serbi jelang Imlek pun menjadi santapan budaya yang turut dinikmati dan dilestarikan oleh seluruh warga. Sebut saja penampilan liong dan barongsai. Seperti kemeriahan di Vihara Hok Tek Bio Citeureup, yang telah berdiri sejak 1830.

Berbagai persiapan penyambutan telah dilakukan oleh pengurus vihara yang berlokasi di Jalan Karang Asem Barat Kecamatan Citeureup tersebut. Salah satunya pemasangan lampion dan pembersihan abu di hari ke delapan menjelang Imlek.

“H-6 kita membersihkan rupang (patung) dan tanggal 23 Imlek, malam 24, diadakan ritual persembahyangan menyambut Toapekong naik ke langit, terutama Kongcho Cho Kun Kong dewa dapur diiringi malaikat bumi Hok Tek Tjeng Sin,” ujar pengurus Hok Tek Bio Citeureup, Ping Yang kepada Radar Bogor, kemarin (14/2).

Pada tanggal 15 Februari atau tanggal 30 bulan 12 Imlek malam atau yang disebut malam Ciagweceit, lanjutnya, diadakan persembahyangan bagi para umat. Pelaksanaannya dimulai pukul 18.00 WIB sampai 00.00 WIB. ”Untuk menyambut Tahun Baru Imlek atau tanggal 1 Ciagweceit tahun 2569. Kita nanti juga akan menyalakan lilin ukuran 20 kati, 50 kati dan 100 kati pada malam Ciagweceit hingga Cap Go Meh yang berlangsung selama 15 hari,” jelas Ping Yang.(fik/rp2/d)