25 radar bogor

Dian Soerarso Melestarikan Budaya Jawa, Filosofi Serbatujuh Tedhak siten

BENTUK SYUKUR: Dari kiri, Dias Widya Ramadhan, Widya Adi Rakhmadian, Agoes Soerarso, Dian Soerarso, serta Dewi Kartika Pratiwi mengelilingi Denia Karissa Rahman dan Dania Kaira Rahman.
BENTUK SYUKUR: Dari kiri, Dias Widya Ramadhan, Widya Adi Rakhmadian, Agoes Soerarso, Dian Soerarso, serta Dewi Kartika Pratiwi mengelilingi Denia Karissa Rahman dan Dania Kaira Rahman.

Tedhak siten atau mudun lemah merupakan pertanda bayi boleh menginjak tanah untuk belajar berjalan. Dian Soerarso, nenek si kembar Denia Karissa Rahman dan Dania Kaira Rahman, menyelenggarakan tradisi tersebut. Bentuk syukur sekaligus melestarikan budaya Jawa.

DIAN Soerarso, istri Agoes Soerarso, sangat bahagia dikaruniai cucu pertama. Tak hanya satu, tetapi dua sekaligus. Sehat dan cantik pula. Kebetulan, Dian adalah ibunda Dias Widya Ramadhan, ayah si kembar. Sesuai dengan tradisi, pelaksana tedhak siten harus dari keluarga pihak ayah.

Dian lantas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan tedhak siten. Bagi Dian, kegiatan itu dilaksanakan sebagai langkah nguri-uri budaya Jawa.

Anak Wali Kota Surabaya R. Soekotjo yang menjabat pada 1965–1974 tersebut tak ingin sebuah tradisi punah dimakan zaman. Terlebih, ada fakta unik dari cucu kembar Dian itu.

De­nia dan Dania lahir pada 31 Mei 2017, bertepatan dengan Hari Jadi Ke-724 Kota Surabaya. ”Mum­pung momennya pas. Kalau bukan saya yang melestarikan budaya ini, siapa lagi,” kata ibu dua anak tersebut.

Kegiatan yang berlangsung pada 24 Desember 2017 lalu di Verwood Hotel Surabaya itu merupakan bentuk syukur atas kesehatan Dias. Sebab, kenang Dian, Dias kecil sempat mengalami leukemia. Beranjak dewasa, Dias menikah dengan Dewi Kartika Pratiwi.

Tak lama kemudian, lahirlah putri kembar mereka. Tentu, kesehatan Dias hingga kelahiran cucu kembar merupakan anugerah bagi Dian dan seluruh keluarga.

PINKY: Kebaya dan kain yang dikenakan si kembar sebelum ganti gaun putih.

Tedhak siten, menurut Dian, sebenarnya dilakukan untuk memperingati bahwa anak menjadi mandiri dari yang sebelumnya masih digendong ke mana-mana. ”Tedhak itu artinya turun, kalau siten berasal dari kata siti yang artinya tanah. Jadi, artinya turun tanah,” terang perempuan 59 tahun tersebut.

Kegiatan itu dilakukan saat bayi menginjak usia tujuh sampai delapan bulan. ”Kenapa tujuh bulan? Karena dalam usia itu, anak sudah boleh di-tatah (dituntun saat berjalan, red),” jelas Wulan Daddy K, event organizer acara tedhak siten keluarga Dian.

Dalam mudun lemah, semuanya serbatujuh. Mulai tahapannya sampai properti yang digunakan. ”Karena anak kembar, jadi semuanya serbadobel,” tambah Wulan.
Dalam pelaksanaannya, ada tujuh tahap yang harus dilakukan.

Yakni, menginjak jadah (tetel) tujuh warna, naik tangga tebu wulung, turun tanah, siraman, ganti baju, masuk kurungan ayam, dan sebar udik-udik. Inti dari mudun lemah terletak pada tahap ketiga, tahap turun tanah.

Nilai filosofinya, tedhak siten bisa diartikan kedekatan dengan ibu. Dalam hal ini ibu pertiwi (disimbolkan dengan menginjakkan kaki ke tanah).
Kemudian, tujuh warna dari tetel punya arti masing-masing.

Disusun dari yang gelap sampai yang paling terang. Hal tersebut menggambarkan bobot masalah yang akan dihadapi si anak. ”Maksudnya, seberat apa pun masalahnya, pasti ada penyelesaiannya,” ungkapnya.

Setelah prosesi khas Jawa itu, kakak Dias alias pakde si kembar, Widya Adi Rakh madian, menghadirkan kado manis. Sebuah lagu berjudul Dewi-Dewiku. ”Adi yang berprofesi musisi di Singapura menyempatkan datang dan ngasih kado spesial,” kata Dian.(md/c25/nda)