CISARUA–RADAR BOGOR, Longsor yang terjadi di kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, beberapa hari lalu, sudah semestinya jadi bahan evaluasi.
Direktur Perencanaan dan Evaluasi PDAS, Ditjen Pengendaliasn DAS dan Hutan Lindung (PDASHL) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Yuliarto Joko Putranto mengatakan, ada beberapa tipe kejadian longsor yang terjadi di kawasan itu.
Ia menjabarkan, beberapa tipe tersebut dimulai dari translasi, rotasi, pergerakan blok, reruntuhan batuan, rayapan tanah, hingga aliran bahan rombakan. Di Puncak, ada empat titik yang tergolong dalam tipe longsoran tersebut.
“Riung Gunung itu masuk dalam tipe translasi. Sedangkan lokasi Gunung Mas atau pinus itu merupakan tipe rotasi. Dua lainnya, yaitu tanjakan Widuri tergolong tipe pergerakan blok, dan tipe reruntuhan batuan pada titik areal Masjid Atta’Awun,” beber Yuliarto dalam keterangan pers yang diterima Radar Bogor.
Lanjut dia, ada tiga penyebab utama longsor di kawasan Puncak. Pertama soal daerah aliran sungai (DAS). Empat titik utama longsor Puncak tersebut mengacu pada hulu Ciliwung.
Faktor kedua yakni alam.Empat titik tersebut memiliki curah hujan yang hampir sama, yaitu 150 milimeter per hari. Dengan durasi hujan mencapai 2–3 hari. Faktor kelerengan yang ada di empat titik itu juga memiliki persentase serupa, yaitu 15 hingga 25 persen.
“Faktor ketiga adalah manusia. Di empat titik tersebut, perencanaan tata ruang yang belum optimal itu terjadi. Serta adanya ketelanjuran aktivitas manusia di kawasan lindung. Dan yang pasti kurangnya kesadaran masyarakat,” tegasnya.
Menurut Yuliarto, kawasan Puncak juga telah mengalami pemotongan tebing untuk jalan. Meski begitu, Yuliarto mengungkapkan bahwa drainase yang ada sudah dikatakan cukup. “Dan ada kegagalan struktur dinding tanah di kawasan itu,” sambungnya lagi.
Kawasan hutan lindung seperti di Puncak memiliki kriteria tersendiri. Berdiri di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut (MDPL), dengan tingkat kelerengan di atas 40 persen.
Jenis tanah di Puncak juga sangat peka dengan erosi seperti regosol, litosol, organosol, dan renzina dengan lereng di atas 15 persen. Kriteria lainnya, kawasan Puncak memiliki kedalaman gambut di atas tiga meter, sempadan sungai selebar 100 meter, dan pelindung mata air radius 200 meter.
“Yang paling pertama, kawasan Puncak memiliki skoring kelerengan, curah hujan dan jenis tanah lebih dari 175,” terangnya.
Pihaknya tak bisa tinggal diam. Kementerian LHK segera me-review tata ruang dengan detail berbasis DAS. Serta melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dan pembuatan bangunan konservasi tanah dan air (KTA) pada hulu dalam ataupun luar kawasan hutan.
“Lokasi kebun teh yang mempunyai kelerengan tinggi agar dikayakan dengan penanaman pohon perakaran dalam atau agroforestry. Setelah itu baru kita sosialisasi, penyuluhan, dan penegakan hukum,” tutupnya.(dka/c)