25 radar bogor

Taksi Online, Bisnis dengan Kesenangan Sesaat

POLEMIK: Keberadaan taksi online menjadi pro-kontra. Kementerian Perhubungan pun kini menetapkan batasan tarif atas dan tarif bawah.

JAKARTA–Kisruh Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM 108/2017 mendapat tang­gapan pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno. Menurutnya, bisnis taksi daring tidak memberikan untung dalam jangka panjang.

Menurut Djoko, masalah taksi daring di Indonesia berkepan­jangan dan tidak selesai tuntas dikarenakan beberapa hal. Misalnya saja, soal ketidak­kom­pakan kementerian dalam mengatur regulasi angkutan sewa khusus yang didalamnya terdapat aturan untuk taksi daring. “Masing-masing instansi kementerian berjalan sendiri-sendiri,” ujarnya kemarin (4/2).

Menurutnya, iming-iming pendapatan besar telah mengalihkan sebagian orang untuk beralih memilih profesi menjadi driver taksi daring. Demikian pula publik yang selama ini menikmati transportasi umum dengan berbiaya mahal dapat tawaran transportasi bertarif murah, mudah didapat, dan ada kepastian tarif.

“Yang harus dipahami, aplikasi hanya berfungsi sebagai pendukung. Yang utama adalah sarana transportasinya. Tanpa sarana transportasi, aplikasi tidak bisa memindahkan orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain. Namun tanpa aplikasi, sarana transportasi masih tetap bisa memindahkan orang atau barang,” katanya.

Untuk mengatur operasional transportasi, Kemenhub sudah mengeluarkan PM 108/2017. Sementara kementerian lain belum banyak berulah. “Terutama Kominfo yang mengatur gerak aplikator. Hingga sekarang, kita tidak pernah tahu pasti berapa jumlah armada taksi online. Sungguh menyulitkan, bagaimana untuk mengaturnya, jika data pun tidak punya,” kata Djoko.

Menurutnya, aplikasi yang digunakan harus diawasi dan dilakukan audit oleh Kominfo. “Jika tidak seperti sekarang, aplikator merangkap sebagai operator transportasi umum,” ucap mantan wakil ketua MTI. Penyedia jasa aplikasi menurutnya harus dipertegas, milih sebagai operator angkutan umum atau cukup aplikator. “Jangan dibiarkan berulah seperti sekarang ini. Mengaku aplikator, tapi turut menentukan besaran tarif dan sistem bonus,” imbuhnya.

Dia menyarankan agar peme­rintah jangan terlalu lama mem­biarkan perusahaan penyedia jasa aplikasi merusak sistem transportasi yang ada. Bagi yang tidak mau mendaftar, aplikator harus diminta segera menutup apkikasinya. “Jika masih ada aplikator memberi layanan aplikasi ke taksi online yang tidak terdaftar, sudah semestinya aplikator tersebut juga harus ditutup,” ungkapnya.

Djoko justru menduga adanya angkutan daring adalah untuk menghancurkan sistem transportasi yang sudah ada dengan dalih sharing economy dan menyediakan lapangan pekerjaan. Hal itu bisa dilihat dari beberapa pebisnis taksi reguler sudah mulai tutup.

“Artinya, menimbulkan pengangguran. Walau pengemudinya beralih ke taksi online, tapi tidak menjamin keberlangsungan usahanya,” ujar Djoko. Dia mencontohkan jika bisnis taksi online hanya memberikan kesenangan sesaat dapat dilihat dari banyak pebisnis taksi online yang gulung tikar. “Itu karena kredit macet kendaraan tidak sanggup membayar cicilan bulanan,” tuturnya.

Dengan tarif yang murah, menurutnya, ternyata tidak cukup untuk menutup biaya kebutuhan hidup keluarga, operasional dan perawatan rutin kendaraan. Selain itu, masih ada tanggungan dari pengemudi yakni untuk pajak kendaraan dan membayar angsuran mobil bulanan. (lyn)

“Pada awal operasi taksi online, rata rata hanya bisa bertahan sekitar setahun. Setelah setahun banyak yang tutup usaha,” katanya.(lyn)