25 radar bogor

37 Tahun Radio Sipatahunan Mengudara, Lahirkan Seniman dan Budayawan Sunda

SIARAN: Penyiar saat berada di dalam studio Radio Sipatahunan.
SIARAN: Penyiar saat berada di dalam studio Radio Sipatahunan.

Berdiri sejak 1981, Radio Sipatahunan memiliki penggemar setia di Kota Hujan. Radio ini pun terus menyiarkan perannya sebagai media pemerintah dan menyimpan berjuta kisah. Banyak seniman dan budayawan Sunda lahir dari mikrofon di studio Sipatahunan.

Laporan: M. Aprian Romadhoni

Salah satu tokoh di Radio Sipatahunan, Tina Widyani Saleh (54) mengatakan, pada era 70-an, masyarakat Bogor lebih mengenal Radio Dian 29. Radio ini dikelola keluargnya, Ahmad Dian Suryatin yang tak lain ayahnya.

Saat itu, kata Tina, Wali Kota Bogor era Sobana mengusulkan adanya radio. Kerja sama ini mengingat pemerintah daerah tidak memiliki studio dan pemancar. “Waktu itu memang di rumah saya dulu dan ada tawaran dari pemerintah kotamadya,” ujar Tina kepada Radar Bogor.

Lalu, pada 1 Maret 1976, PT Radio Dian 29 bekerja sama langsung dengan pemerintah daerah Kotamadya Bogor. Masa itu, pemerintah mendirikan Studio Radio Daerah (Sturada) Kota Bogor.

Dengan susunan, kepala bagian humas Pemerintah Kota Bogor selaku pembina sedangkan PT Radio Dian 29 sebagai pelaksana atau pengelola. “Diresmikan langsung wali kota Bogor yang menjabat saat itu, pak Suratman atas rekomendasi pak Sobana,” tuturnya.

Program itu, kata dia, untuk menginformasikan kinerja pemerintah dan berfungsi sebagai wadah masyarakat. Selanjutnya pada 17 Desember 1981, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Bogor, Sturada diserahkan kepada kepala bagian humas Pemerintah Kota Bogor.

Sejak berada di bawah naungan humas Kota Bogor, radio Sturada lebih menunjukan eksistensinya. Hingga akhirnya radio tersebut dikenal sebagai Radio Sipatahunan.

Nama Radio Sipatahunan tak terlepas dari perannya menyiarkan budaya Sunda. Mulai lagu, dongeng, dan kesenian Sunda lain. Sejumlah budayawan lahir seperti (alm) Dadang dan Mama Arif Hidayat.

Penggunaan kata Sipatahunan sendiri diambil dari nama sebuah leuwi atau mata air. Konon sebagai tampat mandinya para putri dan bidadari pada masa Kerajaan Padjadjaran.

Kepala Seksi Kemitraan Media Publik, pada Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kota Bogor, E. Yun Sudrajat menjelaskan, peran radio ini diharapkan dapat mengakomo­dasi informasi-informasi yang tidak ter-cover oleh media elektronik lainnya.

Namun, Radio Sipatahunan mengudara ilegal dengan frekuensi 89,4 FM. Sebab, sampai saat ini radio tersebut belum mengantongi frekuensi legal dan hak siar. Hal ini menyusul diterbitkannya Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, terutama terkait Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Informasi Publik. Menurutnya, perundang-undangan tersebut lebih berpihak pada sektor swasta.

“Jika ada RRI di suatu wilayah, tidak boleh ada radio pemerintah daerah. Kita terkendala dari undang-undang komunikasi,” jelasnya.

Terkait upaya legalisasi, lanjut Yun, pihaknya pernah mengadukan hal tersebut ke Kementerian Komunikasi dan Informasi. Namun, tak kunjung menemukan titik terang. Kementerian beralasan, frekuensi yang ada sudah penuh.

“Harusnya dibatasi wilayah dan daya pancar. Kan bisa per zona. Kita diminta sebarkan informasi tapi frekuensi tidak dikasih, sama seperti diminta ojek, tapi motornya tidak ada,” katanya.(/c)