25 radar bogor

Kepedulian Eli Hevidayanti pada Anak-anak

GEMBIRA: Anak-anak yang ikut belajar dan bermain di Pangiuhan yang dibangun Eli dan kakaknya.
GEMBIRA: Anak-anak yang ikut belajar dan bermain di Pangiuhan yang dibangun Eli dan kakaknya.

Ketika mencintai anak-anak, banyak orang yang bergelut di dunia mereka. Mulai dari membuat sekolah, berkunjung ke berbagai daerah hingga membuat sebuah tempat untuk anak-anak berkumpul. Seperti yang dilakukan pencinta dunia anak, Eli Hevidayanti Luthfi.

Eli mengaku pernah menjadi pengajar di Sekolah Alam Bogor. Setelah memutuskan berhenti, ia merasa sulit lepas dengan anak-anak karena kecintaannya terhadap mereka. Kemudian, wanita kelahiran Bogor, 30 Januari 1989, ini pun mendirikan sebuah tempat yang disebutnya ‘Pangiuhan’ untuk menciptakan lingkungan ramah anak di rumahnya, kawasan Bondongan, Bogor Selatan.

“Pangiuhan adalah nama tempat yang kami dirikan, dengan harapan menjadi wadah yang maslahat bagi umat,” tuturnya.

Eli menjelaskan bahwa Pangiuhan berasal dari bahasa Sunda yang artinya sebuah tempat berteduh. Pergerakan ini melibatkan semua lapisan masyarakat seperti anak-anak, remaja serta orang tua yang turut berperan aktif mewujudkan lingkungan berakhlakul karimah, berbagi peran menyiapkan generasi pemimpin peradaban yang berakhlak mulia.

Eli memang bercita-cita ingin memiliki taman baca atau tempat mengaji untuk anak-anak. Setelah berdiskusi dengan sang kakak, Aries Muhammad Luthfi, akhirnya dibuatlah konsep dan berbagai kegiatan. Pada 2014, Pangiuhan berdiri untuk usia dini, mulai tiga sampai enam tahun.

Awalnya, hanya satu keponakan yang diajar, kemudian mengajar keponakan yang lain sampai lima orang. Tetangga sekitar pun mulai tertarik dan bertanya mengenai Pangiuhan tersebut. Sebagian besar menyangka jika Pangiuhan adalah PAUD, tapi setelah dijelaskan mereka mengerti dan tertarik untuk mengikuti.
“Saat itu Pangiuhan memang sudah berjalan, ada beberapa kegiatan dan koleksi buku, tetapi peminatnya belum banyak. Setelah melaksanakan kegiatan, anak-anak semakin banyak yang datang,” tutur Eli.

Melihat anak-anak semakin banyak, yang awalnya memanfaatkan ruang tamu, akhirnya Eli dan kakaknya berpikir untuk membuat saung untuk kelas yang berkonsep sekolah alam. Awalnya, mereka hanya memiliki modal Rp2 juta, namun uang tersebut habis dibelikan bambu-bambu. Tak berhenti sampai di situ. Eli yang memiliki keinginan besar mendirikan Pangiuhan gratis menjadi sarana belajar dan bermain anak ini mencoba peruntungan melalui media sosial.

“Saya share di media sosial bahwa kami memiliki kegiatan gratis untuk anak-anak dan sedang melakukan pembangunan, ternyata banyak sekali yang merespons. Baik yang memiliki visi dan misi sama ingin menciptakan kawasan ramah anak, sampai akhirnya mendapatkan Rp30 juta untuk membangun semua keperluan Pangiuhan,” tuturnya.
Akhirnya, pembangunan selesai dengan lancar. Sampai saat ini sudah ada 80 murid yang dibina. Jika ada yang bermain dan tidak rutin ikut kegiatan mungkin sudah lebih dari 100 anak. Eli melihat bahwa untuk bersekolah di sekolah alam memerlukan biaya mahal, sedangkan untuk anak prasejahtera tidak bisa menikmati itu.
Karenanya, Pangiuhan hadir dengan memberikan konsep tersebut agar bisa juga dirasakan anak-anak prasejahtera.

“Uniknya, untuk anak umur tiga sampai enam tahun di Pangiuhan ini tidak menitikberatkan pada calistung secara spesifik. Kalaupun ada, disatukan dengan bermain dan hanya berupa pengenalan,” tuturnya.

Eli mendapatkan uang dari tabungan hasil menjuarai Pemuda Pelopor. Ia pun dibantu donatur, penjualan merchandise dan dana usaha dari Pangiuhan, yaitu EO U-Lin. Saat ini, pengajar tetap ada dua yaitu Eli dan kakaknya, dibantu para volunter.

“Volunter Pangiuhan membuat EO untuk anak-anak yaitu EO U-Lin, dan keuntungan dari event yang kami selenggarakan untuk operasional Pangiuhan,” tuturnya.
Bukan hanya anak-anak, Eli berpikir dirinya membutuhkan kegiatan untuk orang tua. Jadi, kegiatan yang ada di Pangiuhan bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga diberikan kepada orang tua.(rp3/c)