25 radar bogor

Dewis Akbar Ajari Bikin Aplikasi, Petakan Siswa Miskin Penerima Beasiswa

Sabrina/Jawa Pos PIONIR: Dewis Akbar membimbing siswa SDN 10 Regol, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Bersama siswa, Dewis bikin aplikasi pemetaan siswa miskin.
Sabrina/Jawa Pos
PIONIR: Dewis Akbar membimbing siswa SDN 10 Regol, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Bersama siswa, Dewis bikin aplikasi pemetaan siswa miskin.

Keterbatasan tak membuat Dewis Akbar menyerah. Dengan tekun, dia menularkan ilmu coding (pemrograman) kepada anak-anak di Garut. Hasilnya, beragam karya inovatif lahir dan menjadi jawara di berbagai ajang lomba inovasi nasional hingga internasional.

SHABRINA PARAMACITRA, Garut

Ruang guru di SDN 10 Regol, Kabupaten Garut, Jawa Barat, itu tak seberapa besar. Hanya berukuran 6 x 6 meter. Meski ter­batas, ruangan tersebut sekaligus dijadikan laboratorium komputer.

”Anak-anak dan beberapa alumnus yang sudah (menjadi siswa, red) SMP memang kadang main ke sini. Enggak langsung pulang ke rumah,” kata Dewis Akbar saat ditemui Jawa Pos (Grup Radar Bogor) beberapa waktu lalu.

Dewis adalah guru ekstrakurikuler TIK di SDN 10 Regol. Sehari-hari dia adalah pengelola agroforestry (wanatani). Dia juga memiliki lahan kebun yang ditanami teh dan jamur di Garut. Di tengah kesibukan mengurus kebun, dia aktif menjadi tenaga pengajar di SDN Regol 10 sejak 2014.

Dulu SDN Regol 10 hanya memiliki 1 unit komputer. Itu pun dipakai untuk administrasi sekolah. Pengajaran TIK (teknologi informasi dan komunikasi) di sekolah hanya menggunakan teori. Tanpa praktik. Anak-anak pun cepat bosan.

Ketika jumlah komputer bertambah menjadi tiga unit, anak-anak juga hanya belajar pembuatan dokumen dengan Mi­crosoft Office. Padahal, me­nurut Dewis, anak-anak semes­tinya diajari sesuatu yang lebih luas agar dapat mengikuti per­kembangan zaman dan perubahan teknologi yang cepat.

Di SDN Regol 10 Dewis mendirikan kelompok ekstrakurikuler yang bernama STEAM Club. STEAM adalah singkatan dari science, technology, engineering, art, & math.

Dewis pun berusaha mengajarkan pemrograman untuk siswa SD kelas V. Dari situ, anak-anak tak hanya belajar hal-hal mendasar mengenai komputer. Mereka juga diajari membuat berbagai aplikasi.

”Tidak sulit mengajarkan pemrograman kepada anak-anak yang sudah punya komputer di rumah. Tapi, bagi yang tidak punya dan tidak mengenal komputer, ya sulit. Mengetik pakai keyboard saja mereka susah. Butuh beberapa menit hanya untuk mengetik satu kalimat,” ujar sarjana ilmu komputer dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Namun, Dewis melihat bahwa semangat para siswa untuk belajar TIK sangat tinggi. Anak-anak yang sudah mahir komputer tak berkeberatan jika diminta untuk mengajari temannya.

Anak-anak yang kurang mengenal komputer juga tak mudah putus asa untuk belajar mengetik dan mengenal program. Mereka terkadang lebih mudah memahami pelajaran soal komputer dari temannya ketimbang dari guru.

Para siswa pun mulai belajar coding, membuat perintah dan pengaplikasiannya lewat komputer. Mereka mencoba membuat aplikasi. Yang kali pertama dibuat adalah aplikasi Saron Simulator.

Yaitu aplikasi Android yang dibuat untuk memudahkan siswa yang ingin bermain gamelan. ”Gamelan itu kan alatnya besar-besar dan berat. Kalau mau punya satu set gamelan, juga harganya mahal,” tutur Dewis.

Saron Simulator terbuat dari bahan yang sederhana. Misalnya akrilik dan papan kayu yang bisa juga disubstitusikan dengan papan plastik. Untuk suara alat-alat gamelan, diambil terlebih dahulu sampelnya dengan direkam menggunakan ponsel Android. ”Sampel suara itu dima­sukkan ke aplikasi meng­gunakan coding. Nanti dari komputer muncul suara yang menyerupai alat gamelan yang sudah direkam,” lanjutnya.

Saron Simulator dimainkan seperti alat gamelan biasa. Bentuknya lebih tipis, ringan, dan sederhana. Sehingga lebih praktis. Bahkan bisa dilipat. Awalnya Saron Simulator itu digunakan untuk simulator satu alat gamelan saja, yakni saron.

Seiring kreativitas siswa, Saron Simulator diperluas untuk alat-alat lainnya. Misalnya peking, bonang, jengglong, gong, dan kempul. Namanya pun berubah menjadi Gamelan Simulator. Saron Simulator telah mendapatkan beberapa penghargaan.

Di antaranya Indonesia ICT Awards (Inaicta) 2014 dan Merit Award Asia Pacific ICT Alliance (Apicta) Awards 2014. Dewis sendiri berhasil menyabet penghargaan SATU Indonesia Award 2016 yang dihelat PT Astra International Tbk.

Aplikasi Android lain yang dikembangkan anak-anak binaan Dewis adalah Pemetaan Pelajar dari Keluarga Miskin. Aplikasi tersebut berisi nama, alamat, foto rumah, dan titik koordinat rumah siswa miskin.

Aplikasi itu dibuat untuk mendata siswa-siswa miskin yang layak menerima beasiswa. Yang membuat adalah alumni siswa binaan Dewis yang telah menginjak bangku SMP. Namun, dalam praktiknya, pendataan siswa miskin di lapangan menggunakan bantuan dari siswa SDN Regol 10.

Dewis menjelaskan, banyak siswa tak mampu yang sulit melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP setelah lulus SD. Banyak orang tua siswa yang bekerja sebagai buruh tani, tukang cuci, bahkan serabutan.

”Kalau mengandalkan bantuan dari KIP (kartu Indonesia pintar, Red) milik pemerintah, hanya cukup untuk beli buku. Tapi, ketika masuk jenjang sekolah yang lebih tinggi, ada uang pangkal yang harus dibayar dan biasanya jutaan rupiah. Nah, itu yang sulit,” terang pria 35 tahun tersebut.

Pendataan itu dilakukan pada siswa yang memiliki orang tua dengan total pendapatan per bulan di bawah Rp600 ribu serta di atas Rp600 ribu hingga Rp1 juta.

Di SDN Regol 10 saja, di antara 209 siswa, ada 31 siswa yang dibesarkan orang tua dengan pendapatan di bawah Rp600 ribu per bulan. Ada pula 62 siswa yang dibesarkan orang tua berpenghasilan Rp600 ribu sampai Rp1 juta per bulan.

Anggota STEAM Club pun mendatangi rumah para siswa miskin tersebut. Memfoto rumah dan mencatat titik koordinat rumah agar calon donatur bisa datang langsung jika ingin mengunjungi rumah siswa miskin.

Saat ini pendataan lewat aplikasi itu baru dilakukan untuk siswa SDN Regol 10. Ke depan, Dewis berniat memperluas penggunaan aplikasi Pemetaan Pelajar dari Keluarga Miskin untuk SDN Regol 6, 7, 8, 9, 11, dan 12.

Jika semua data sudah terkumpul, akan diserahkan kepada komite sekolah agar dibantu untuk mendapatkan donatur beasiswa. Beasiswa itu dapat berasal dari orang tua siswa yang lebih mampu ataupun donatur lainnya. Misalnya dari kelurahan.

Aplikasi Pemetaan Pelajar dari Keluarga Miskin bersifat hiperlokal. Yakni mengandalkan kemampuan warga lokal terlebih dulu untuk mendapatkan bantuan. Selain membantu siswa miskin untuk melanjutkan sekolah, aplikasi tersebut mendorong para siswa supaya berempati dan peduli kepada sesama sejak kecil.

”Saya yakin, jika warga lokal digerakkan, itu bisa membantu sesama. Sebab, banyak di antara warga yang mampu itu bukannya tidak mau membantu. Tapi, mereka tidak tahu bahwa ada orang sekitar yang perlu dibantu,” urai putra pasangan Nandang dan Atikah (almh) itu.

Perubahan yang dibawa Dewis di SDN Regol 10 sangat banyak. Anak-anak yang pernah dibimbing merasakan banyak sekali manfaat yang didapat dari pelajaran komputer di sekolah. Adilla Rachmawati Pradana contohnya.

Alumnus anggota STEAM Club yang kini duduk di bangku kelas IX SMPN 2 Garut tersebut meng­aku mendapatkan pengalaman berharga. Adilla termasuk siswa yang sejak kecil sudah punya komputer di rumah. Dulu dia sering mengajari temannya tentang komputer. Pengalaman berbagi ilmu itu membuat dia semakin bersemangat untuk belajar. (*/c11/c9/oki)