25 radar bogor

MK Tolak Gugatan Presidential Threshold

Ilustrasi gedung MK (Jawapos)
Ilustrasi gedung MK (Jawapos)

JAKARTA – Judicial review terhadap ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ditolak Mahkamah Konstitusi kemarin (11/1). Dengan demikian, pasangan calon presiden dan wakil presiden harus didukung partai yang menguasai 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional untuk mendaftar pada Agustus mendatang.

Itu sesuai dengan Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Karena pemilihan presiden dan pemilu legislatif pada 2019 serentak, maka yang dijadikan acuan adalah hasil Pileg 2014.

Dengan ambang batas sebesar itu, tidak ada satu pun partai yang bisa mengusung capes-cawapres sendirian. PDIP sekalipun. Sebab, partai pemenang Pemilu 2014 itu hanya menguasai 19,4 persen suara nasional.

Dalam pertimbangannya, MK menampik semua dalil yang diajukan pemohon. Salah satunya terkait diskriminasi, karena partai baru tidak bisa mencalonkan capres-cawapres.

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengatakan, tidak semua perbedaan disebut diskriminasi. Menurut mahkamah, dikatakan diskriminasi jika didasari pembedaan atas dasar SARA, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik.

”Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” katanya di Gedung MK.

Sementara terkait dalil yang menyebut pasal 222 bertentangan dengan logika keserentakan, MK sudah berpendapat dalam Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009. Di situ sudah ditegaskan, bahwa penentuan ambang batas minimum perolehan suara partai politik dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden adalah kebijakan hukum pembentuk undang-undang atau open legal policy.

Adapun menyangkut anggapan presidential threshold tak lepas dari tarik-menarik kepentingan politik, mahkamah berpendapat pembentukan UU adalah keputusan politik. Oleh sebab itu, mahkamah tidak berwenang menilai praktik dan dinamika politik yang terjadi selama berlangsungnya proses pembentukan UU.

”Selama tata cara pembentukan undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan tata cara atau prosedur yang ditentukan dalam UUD 1945,” imbuhnya.

Tidak semua hakim konstitusi sepakat untuk menolak gugatan presidential threshold itu. Dua di antara sembilan hakim, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo, menyampaikan perbedaan pendapat atau dissenting opinion.

Dalam penjelasannya, Suhartoyo menilai, mempergu­nakan hasil pemilu legislatif sebagai syarat mengisi posisi eksekutif merusak logika sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah. Kepada legislatif dan eksekutif (presiden).

”Mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda, dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif,” ujarnya.

Saldi Isra menambahkan, pemberian kursi sekurangnya 20 persen dari jumlah kursi DPR tidak menjamin terjadinya stabilitas pemerintahan. Apalagi, tidak ada jaminan, hasil di pemilu 2019 akan sama dengan Pemilu 2014. ”Bahkan, yang jauh lebih tragis, bagaimana pula jika partai politik peserta Pemilu DPR 2014 yang mengajukan calon presiden dalam Pemilu 2019 tetapi gagal menjadi peserta Pemilu 2019 karena tidak lolos verifikasi faktual,” tuturnya.(far/lum/bay)