25 radar bogor

Jadi Relawan di Mother House, Kalkuta, Menapaktilasi Inspirasi Bunda Teresa

DEBORA SITANGGANG/Jawa Pos MENGILHAMI: Foto kanan, pintu depan rumah Bunda Teresa di Kalkuta, India, Jumat lalu (22/12). Para relawan berkumpul untuk sarapan seusai misa pagi.
MENGILHAMI: Foto kanan, pintu depan rumah Bunda Teresa di Kalkuta, India, Jumat lalu (22/12). Para relawan berkumpul untuk sarapan seusai misa pagi.

Orang-orang dari berbagai negara, dengan ragam latar etnis dan agama, terus mengalir ke rumah Bunda Teresa di Kalkuta untuk mendaftar jadi relawan. Yang ditangani mulai yatim piatu, warga sepuh, sampai anak-anak berkebutuhan khusus.

DEBORA DANISA SITANGGANG,
Kalkuta

RA Yejin masih ingat benar beratnya pekerjaan yang harus dijalankannya di rumah berdinding abu-abu itu. Tiap hari perempuan asal Korea Selatan tersebut harus mencuci seprai dan baju puluhan orang secara sukarela.

”Melelahkan memang. Tapi, buktinya, saya ada di sini lagi kan sekarang?” katanya kepada Jawa Pos (Grup Radar Bogor).

Kami tengah berada di Mother House, Kalkuta, pada Jumat menjelang sore lalu itu (22/12). Dengan tujuan yang sama: melamar menjadi relawan di rumah Bunda Teresa tersebut.

Tiap Senin, Rabu, dan Jumat Missionaries of Charity, nama resmi Mother House, memang biasanya menerima pendaftaran volunter. Tapi, tidak demikian Jumat itu, juga Senin-nya (25/12).

”Tutup karena masa Natal,” terang Suster Esther Rose seraya menunjuk pengumuman di selembar kertas yang tertempel.

Tapi, masih ada harapan. Suster Esther Rose menyarankan calon pekerja sukarela datang ke Nirmala Shishu Bhavan, rumah Missionaries of Charity yang lain. Letaknya tak jauh, hanya beberapa blok di Kalkuta yang riuh, dingin, dan di banyak sudut tampak kumuh.

Di kota itulah dulu Bunda Teresa memberikan pelayanan kepada kaum miskin dan telantar. Perempuan yang terlahir dengan nama Anjeze Gonxhe Bojaxhiu di Skopje, Makedonia, pada 26 Agustus 1910 tersebut mengabdi di India sejak 1929.

Tergerak oleh kemiskinan yang dilihatnya waktu mulai mengajar di sebuah sekolah Katolik di Kalkuta pada 1937, dia lantas mencurahkan waktu, tenaga, dan kasih sayang untuk membantu kaum papa.

Inspirasi dari kerja kemanusiaan yang dilakukan Nobelis Perdamaian 1979 itulah yang lantas mengilhami begitu banyak orang dari berbagai negara. Dengan latar etnis, bahkan agama, yang berbeda-beda. Termasuk setelah kematiannya di usia 87 tahun pada 5 September 1997.

Orang-orang yang datang ke tempat tersebut pada umumnya mencari penyegaran spiritual. Termasuk Ra Yejin yang sudah datang untuk kali kedua. Sekarang sendiri, sebelumnya bersama rombongan gereja.

Tito Zosa, relawan asal Filipina, mengajak pula istri dan anaknya ke Kalkuta. Khusus selama satu bulan, Tito dan keluarga mendapat tugas di Kalighat.

”Di sana tempat orang tua yang sudah sakit. Kami harus merawat mereka, memberi makan, memakaikan baju, juga mencuci piring,” tuturnya.

Missionaries of Charity memang membagi para relawan ke beberapa tempat di Kalkuta. Salah satunya Nirmala Shishu Bhavan yang diperuntukkan anak-anak yatim piatu. Juga Kalighat dan Prem Dan untuk orang-orang sepuh. Lalu, Daya Dan untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Para pekerja sukarela pun mendapat tugas secara acak di tempat yang berbeda. Namun, Mother House di A.J.C. Bose Road menjadi pusat di mana para sukarelawan berkumpul. Setiap pukul 06.00, kecuali Kamis, ada misa yang bisa diikuti.

Tidak sulit mengajukan diri sebagai volunter di Missionaries of Charity. Tidak perlu mendaftar sejak jauh-jauh hari.

Seperti yang dialami Jawa Pos. Di Nirmala Shishu Bhavan, cukup datang saja ke misa Sabtu pagi. Para suster akan mengumumkan pendaftaran relawan. Mother House sebagai ”kantor pusat” tidak punya e-mail. Mereka hanya menerima telepon dan faksimile. Itu pun tidak begitu diperlukan.

Cukup datang dan menarik rantai bel pintu depannya, kemudian menunjukkan paspor. Calon relawan akan ditanya berapa lama tinggal di Kalkuta. Yang kurang dari seminggu ditempatkan di Nirmala Shishu Bhavan, seperti Jawa Pos.

Jumat lalu saja ada 16 orang yang baru datang. Sebagian seperti Ra Yejin, bukan untuk kali pertama ke situ.

Kami, para relawan, lantas mendapatkan day pass. Semacam surat izin menjadi volunter. Jika datang ke salah satu rumah Bunda Teresa untuk pelayanan, para pekerja sukarela harus menunjukkan pas itu.

Pas tersebut cukup rawan hilang karena hanya berupa selembar kertas kecil seperti karcis. ”Please, datang ke tempat yang tertulis di day pass. Jangan datang ke salah satu rumah sesuka hati,” tegas Suster Mercy Mary yang bertugas menangani pendaftaran.

Meski Kalkuta sudah banyak berubah sejak Bunda Teresa berpulang, termasuk secara perekonomian, masih sangat banyak yang butuh bantuan di kota berpenduduk 4,5 juta jiwa tersebut. Mereka tak cuma membutuhkan bantuan, tapi juga kasih sayang.

Sepanjang perjalanan, kota itu memang tampak semrawut. Pagi-pagi buta, pada Jumat lalu, misalnya, saya berjalan kaki dari penginapan di Park Street menuju Mother House.

Trotoar Park Street dipenuhi pedagang kaki lima di siang hari. Juga, ternyata mereka tidak beranjak dari sana.

Mereka semua tidur berimpitan di sana, di trotoar, di antara barang-barang dagangan yang masih terbungkus. Tidur dengan selimut seadanya, melawan hawa sekitar 18 derajat Celsius ibu kota Negara Bagian West Bengal tersebut.

Kios kaki lima itulah rumah mereka. Pakaian yang dicuci mereka jemur di tiang listrik. Untuk merekalah dulu Bunda Teresa yang sudah ditahbiskan oleh Vatikan sebagai ”orang suci” mengabdikan diri.

Bunda Teresa mendirikan Missionaries of Charity pada 1950 dan kini sudah memberikan pelayanan ke lebih dari 130 negara. Termasuk di Atambua, Indonesia.

Juga, kegiatan kemanusiaan di penjuru dunia itu diorganisasi di rumah megah yang terletak di Acharya Jagadish Chandra Bose Road Nomor 44, Kalkuta: Mother House. Bangunan tersebut terlihat megah sekaligus ber­sahaja. Ada tiga lantai di dalam­nya. Ditambah lantai 4 yang hanya ada di sebagian titik.

Rumah tempat Bunda Teresa tinggal semasa hidup tersebut terbuka untuk umum. Siapa saja yang ingin melihat sendiri makam dan sejarah peraih hadiah perdamaian Ramon Magsaysay 1962 itu bisa berkunjung setiap hari. Kecuali Kamis.

Makam Bunda Teresa berada di lantai dasar rumah berwarna abu-abu tersebut. Makam marmer putih itu dihias lilin dan patung Bunda Maria. Setiap orang yang masuk harus melepas sepatu.

Kami boleh mengambil gambar hanya di sekitar makam tersebut. Sisanya, entah itu di halaman tengah atau di ruangan lain, dilarang memotret. Aturan tersebut juga berlaku di semua rumah Bunda Teresa di Kalkuta.

Sejak pintu masuk, pasti ada papan larangan yang bertulisan ”No Photo Please”. Para suster tidak ingin penghuni rumah mereka terganggu dengan kamera. Relawan harus fokus hanya untuk pelayanan.

Setelah melewati pelataran di tengah, ada tangga menuju lantai 2 di sisi kiri. Itulah tangga ke kamar Bunda Teresa. Kamar tersebut hanya dibuka di saat-saat tertentu. Selebihnya, bahkan para suster pun tidak masuk ke sana.

Sementara itu, di sisi kanan menuju dapur, ada ruangan ekshibisi. Besarnya setengah dari ruangan untuk makam dan ibadah di sebelahnya.

Di sana, para suster memajang benda-benda kenangan tentang Bunda Teresa. Deretan kliping besar bersampul hitam berjajar di meja paling selatan. Salah satunya adalah kliping momen-momen ketika Bunda Teresa dipanggil Tuhan di usia 87 tahun.

Kala itu media lokal maupun internasional memberitakan wafatnya Bunda Teresa secara besar-besaran. Beragam headline terpampang. Salah satu yang cukup menggelitik adalah Heaven run out of the Angel. Surga sedang kekurangan malaikat sehingga Bunda Teresa pun dipanggil.

Di meja kaca seberangnya, tersimpan barang pribadi Bunda Teresa. Satu set makan miliknya ditandai dengan tulisan +1 ber­warna merah. Pensil terakhir yang dia gunakan semasa hidup di Kalkuta masih tersisa setengah.

Detail yang memperlihatkan kebersahajaan Bunda Teresa. Sekaligus memancarkan inspirasi, sebagaimana kerja kemanu­siaannya. (*/c11/ttg)

Termasuk bagi kami, empat relawan yang ditugaskan di Nirmala Shishu Bhavan. Meski tugas-tugas sudah langsung menunggu begitu selesai sarapan. Kami harus membersihkan ruang makan lebih dulu. Lalu menyapu, mengepel, dan mencuci gelas susu.

Selanjutnya, menangani anak-anak dengan karakter yang berbeda-beda. Anak-anak korban kemiskinan. Tak mudah, tentu saja. Melelahkan, sudah pasti.

Tapi, itu jenis kelelahan yang membuat kecanduan. Yang mendorong banyak orang dari berbagai negara rela terbang jauh-jauh ke Kalkuta. Yang membuat orang seperti Ra Yejin sampai datang untuk kali kedua. (*/c11/ttg)