25 radar bogor

Rugi Rp5,5 M, Minta Tambah Rp7 M

Lima Peserta Lolos Seleksi Calon Direktur PDJT, Dedie: Banyak Pelamar Bukan dari Bidang Transportasi
Lima Peserta Lolos Seleksi Calon Direktur PDJT, Dedie: Banyak Pelamar Bukan dari Bidang Transportasi
KEMBALI BEROPERASI: Bus Transpakuan kembali beroperasi untuk rute Cidangiang-Bellanova.

BOGOR–Pantas saja DPRD Kota Bogor menolak memberikan suntikan dana kepada Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT). Bagaimana tidak, dana penyertaan modal Rp5,5 miliar yang diberikan pada 2016 tidak jelas pertanggungjawabannya.

Alhasil, dana tambahan Rp7 miliar yang diminta pada 2017 tidak direstui. Puncaknya adalah, subsidi sebesar Rp78 miliar yang diusulkan Wali Kota Bogor Bima Arya juga tidak lolos pada APBD 2018.

Ya, semua masalah itu menjadi pembahasan dalam Rakor Evaluasi Kinerja BUMD Kota Bogor di Hotel Onih, kemarin (18/12). Kabag Perekonomian pada Sekretariat Daerah (Setda) Kota Bogor, Tri Irijanto menuturkan, berdasarkan evaluasi ada delapan rekomendasi untuk menyehatkan kembali PDJT. “Intinya, ada penambahan suntikan dana. Baik itu penyertaan modal pemerintah (PMP) maupun hibah. Namun, ini kan tidak disetujui DPRD,” ujar Tri.

Pihaknya pun mencoba mencari dana dengan cara lain, yakni mengubah status PDJT yang tadinya perusahaan daerah menjadi perusahaan umum daerah (Perumda) atau perseroan daerah (Perseroda). Nah, dalam perjalanannya, perubahan status tersebut ternyata membutuhkan biaya yang tak sedikit, yakni Rp7 miliar, yang kemudian sudah dianggarkan pada 2017.

“Tapi karena PDJT tidak bisa memberikan alasan yang kuat, dewan akhirnya tidak berani menyetujui anggaran Rp7 miliar. Sebab, Rp5,5 miliar (dana tahun 2016) saja belum ada pertanggungjawabannya,” bebernya.

Memang, anggaran Rp5,5 miliar yang dikucurkan untuk PDJT saat itu diperuntukkan operasional dan perbaikan bus yang sedang rusak. Namun belakangan, anggaran itu ternyata habis untuk membayar gaji pegawai. Akhirnya, pelayanan terganggu akibat mobil yang mulai rusak. “Jadi, (anggaran) Rp5,5 miliar yang tadinya untuk operasional, ludes. Kami mau minta pertanggunggjawaban juga susah,” katanya.

Padahal, jika saja anggaran itu digunakan untuk operasio­nal, mekanisme penyelamatan PDJT akan berjalan. Dimulai de­ngan menjadi perumda. Jika sudah sehat barulah menjadi Perseroda, sehingga bisa lebih mandiri.

“Jadi, dalam aturannya, jangka waktu saat menentukan Perumda menjadi Perseroda, beberapa kali diberikan dana bantuan. Bisa setahun atau tiga tahun. Sudah sehat, kita ubah langsung ke Perseroda. Jadi, keuntungan menjadi Perseroda, selain bisa mandiri juga bisa meminta bantuan ke pusat, atau dikelola perusahaan,” imbuhnya.

Dengan ditolaknya suntikan dana Rp7 miliar, akhirnya berujung kepada operasional bus Transpakuan yang diberhentikan sementara. Masalah pun terus bermunculan karena gaji pegawai juga tak kunjung dibayar.

Namun, beberapa cara terus dilakukan, salah satunya dengan memanfaatkan bantuan ke pusat. Yaitu, dengan digelontorkannya empat bus Transpakuan yang kini dioperasionalkan untuk memenuhi gaji pegawai, yang tetap saja tidak begitu efektif. “Karyawan sekarang masih digaji berdasarkan keuntungan tiket bus Transpakuan rute Bellanova. Itu pun ada efisiensi karyawan dari 146 menjadi hanya 71,” cetusnya.

Selain PDJT, ada tiga BUMD milik pemkot yang juga dibahas dalam rakor tersebut. Di antaranya, PDAM Tirta Pakuan yang menjadi BUMD paling sehat, karena mampu menghasilkan penghasilan daerah hingga Rp50 miliar sepanjang 2016. Kemudian, PD Bank Pasar dengan penghasilan Rp3 miliar, dan PD Pasar Pakuan Jaya Rp1,3 miliar.

Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Ade Sarip Hidayat mengatakan, PDJT dulu sudah dibuat sehat dengan disuntik penyertaan modal untuk gaji pegawai, dan harusnya bisa meningkatkan pelayanan usaha. “Jadi, rasa memilikinya harus berlebih kalau usahanya tidak jalan. Harus dibuat sehat bentuk pelayanannya, nyaman AC-nya, perangkat infrastrukturnya, sehingga menghasilkan sesuatu untuk kepentingan pegawai,” kata Ade.

Menurut Ade, harus betul-betul dipahami substansi apa yang terevaluasi, kemudian membuat tidak sehat perusahaan. Semisalnya, PDJT gemuk, maka dibuat sebijak mungkin bagaimana mengurangi pegawai.

“Sudah sekarang enggak kegaji, dan usaha belum jalan. Dengan bijak lakukan rasional terhadap jumlah pegawai. Dengan bijak lewat diskusi, bagusnya gimana. Kalau tidak, malah tambah tidak sehat. Kan kalau yang lain, katanya sehat-sehat,” papar Ade.(wil/c)