25 radar bogor

Literasi Tidak Melulu soal Budaya Membaca

KERJA SAMA: Kepala BP3 Wilayah 1 Herry Pansila (kiri) dan Pemimpin Redaksi Radar Bogor Nihrawati AS (kanan) bersalaman usai menandatangani kesepakatan kerja sama usai acara Obsesi di Graha Pena, kemarin (6/12).
KERJA SAMA: Kepala BP3 Wilayah 1 Herry Pansila (kiri) dan Pemimpin Redaksi Radar Bogor Nihrawati AS (kanan) bersalaman usai menandatangani kesepakatan kerja sama usai acara Obsesi di Graha Pena, kemarin (6/12).

Berbagai cara dilakukan semua unsur yang terlibat di bidang pendidikan untuk mendongkrak budaya literasi di sekolah. Berbagai gagasan muncul dari Obsesi Radar Bogor yang berlangsung kurang lebih selama dua jam. Salah satunya, membiasakan murid membaca buku terlebih dahulu sebelum memulai pembelajaran.

Menyikapi persoalan tersebut, Radar Bogor menggelar Obrolan Serius Mencari Solusi (Obsesi), di Graha Pena, Jalan KH Abdullah bin Nuh, Bogor, kemarin (6/12). Mengangkat tema Memperkokoh Ketahanan Nasional Melalui Gerakan Literasi Sekolah, Obsesi dimoderatori Gatut Susanta dan menggandeng Komite Pemantau Legislatif (Kopel).

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, TB Luthfie Syam mengatakan, berbicara literasi tidak melulu soal budaya membaca. Banyak hal lain yang juga berkaitan dengan literasi, seperti menulis cerpen dan puisi. Semangat untuk mendongkrak literasi ini, menurutnya, sudah terlihat. “Dapat dilihat dari munculnya komunitas-komunitas gerakan literasi yang sudah mulai tumbuh,” ujar Lutfhie dalam acara Obsesi di Graha Pena, Radar Bogor, kemarin.

Persoalan budaya membaca di kalangan pelajar ini seolah menjadi PR besar baginya. Sebab, menurut dia, budaya membaca di Bogor masih kalah dibandingkan dengan budaya bertutur.

“Ini mungkin menjadi tantangan bagi kita semua,” sambungnya. Kunci membudayakan literasi, menurut dia, ada pada pendidik dalam hal ini guru. “Guru harus berubah. Berpikirlah out of the box,” ujarnya.

Mewakili Kantor Kementerian Agama Kota Bogor, Dede Supriatna selaku Kabag Tata Usaha mengatakan, dalam agama Islam, perintah literasi terdapat dalam Alquran. Sudah banyak pesantren yang menerapkan literasi jauh sebelum dicanangkan pemerintah termasuk di madrasah.

Di tempat yang sama, Kepala Balai Pelayanan Balai Pelayanan dan Pengawasan Pendidikan (BP3) Wilayah 1 Jawa Barat Herry Pansila mengatakan bahwa literasi tidak hanya didukung sekolah, tetapi membutuhkan peran orang tua dan berbagai pihak. “Pentingnya peran orang tua dalam meningkatkan kegemaran membaca dan menulis pada anak-anaknya,” kata Herry.

Tak hanya itu, media juga harus ikut berperan mendukung gerakan tersebut. Seperti yang dilakukan Radar Bogor dengan menerbitkan tabloid edisi sekolah.

Pemimpin Redaksi Radar Bogor Nihrawati AS mengatakan, terbitnya tabloid tersebut sebagai dukungan terhadap gerakan literasi. Pada edisi yang terbit setiap bulan khusus di sekolah maupun madrasah di Bogor itu, memberikan ruang bagi siswa untuk menuangkan kreativitasnya.

“Kami menerima hasil karya siswa berupa puisi, cerpen, laporan kegiatan sekolah, dan lain-lain. Ada juga rubrik untuk guru yakni Guru Menulis,” jelas wanita yang disapa Ira itu.

Butuh Dukungan Infrastruktur

Di sisi lain, kualitas literasi di kalangan pelajar berbanding lurus dengan tersedianya infrasturuktur pendukung kegiatan sekolah. Sebab, kesediaan infrastruktur yang baik dapat mendongkrak semangat siswa-siswi untuk belajar.

Namun, YAPPIKA-ActionAid mengungkap, ketersediaan infrastruktur sekolah belum terpenuhi dengan baik. Berdasarkan survei YAPPIKA-Action­Aid, ada 17 persen bangu­nan sekolah di Indonesia yang rusak. “Jumlah bangunan sekolah rusak masih tinggi,” kata Manager Divisi Program YAPPIKA-ActionAid Hendrik Rosdinar.

Sering kali, kata Hendrik, pemerintah daerah (pemda) belum sempat membenahi beberapa sekolah yang rusak lantaran ada beberapa sekolah yang perlu diprioritaskan. “Pemerintah sering mengklaim bahwa sudah ada beberapa yang diprioritaskan. Tapi, tidak pernah disebutkan bangunan mana yang menjadi prioritas,” paparnya. Padahal, menurutnya, sebuah infrastruktur sekolah yang baik mencerminkan keteladanan si pengambil kebijakan sejauh mana peduli pada pendidikan.

Sementara itu, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kabupaten Bogor Agus Sriyanta mengatakan tidak semua sekolah bisa men­jalankan literasi. Seperti halnya di sekolah yang jam belajarnya sedikit lantaran harus memakai kelas secara bergantian. Walhasil, kesempatan siswa untuk membaca di sekolah sangat minim.

Belum lagi, ada sekolah yang belum mampu membuat perpusatakaan. Jelas kondisi tersebut menghambat sekolah menjalankan kegiatan-kegiatan literasi. Ia berharap, ke depan sekolah-sekolah yang dimaksud mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. “Banyak sekolah yang tidak bisa menceritakan suasana literasi,” ungkapnya.(fik/cr1/d)