25 radar bogor

Cegah Banjir dengan Metode Rain Garden

BOGOR–Menuju kota sensitif air pada 2045 mendatang, Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama Universitas Indonesia (UI) dan Monash University menggelar Urban Water Learning Alliance di Hotel Savero Garden, Kamis (30/11). Pada kesempatan tersebut dibahas berbagai upaya penyelamatan air dengan cara manajemen air yang baik.

Cluster Leader Prof Hadi Susilo Arifin mengatakan, kota sensitif air menjadi salah satu target -yang dalam bahasa sederhananya- kota ramah air. Penyelamatan air melalui manajemen yang baik yakni ketika turun hujan air tidak menimbulkan banjir dan ketika kemarau air tidak sampai kekeringan. “Penyelamat air dimulai dari branch marking dengan melihat posisi Bogor berada di level mana. Apakah di level bawah, menengah atau atas,” ujarnya.

Menurutnya, penelitian yang sedang dilakukan ini sangat memerlukan dukungan dan masukan dari masyarakat. Selain tentunya merangkul stakeholder terkait agar permasalahan air terutama di Bogor, Cibinong, dan Sentul City dapat diatasi. “Kita buat program agar air hujan tidak lagi dibuang begitu saja, tetapi sebaliknya air hujan ditangkap yang kita sebut dengan pemanenan air hujan,” imbuhnya.

Pemanenan air hujan, lanjut Hadi, dapat dilakukan dengan membuat rain garden di setiap kompleks perumahan. Taman tersebut terdapat lubang resapan di bawahnya untuk menangkap air. Lalu, jenis tanamannya adalah yang bisa menangkap polutan.

“Selama ini, kalau hujan turun airnya dibiarkan masuk ke drainase, tapi dengan lubang resapan airnya ditampung. Lubang resapan ini harus dibuat di mana-mana, bisa di tepi sungai, tepi danau air agar tidak digelontorkan tapi ditahan,” jelasnya.

Hadi menambahkan, hasil tindak lanjut dari penelitian ini akan dipetakan pada April 2018, dan puncaknya akan ada kegiatan serupa pada November 2018 mendatang.

Sementara itu, Wali Kota Bogor Bima Arya yang hadir sebagai keynote speaker mengatakan, tidak ada kota di Indonesia yang lekat dan dekat dengan air, kecuali Kota Bogor sebagai kota hujan. Maka itu, sebagai kota yang menjadi lintasan Sungai Cisadane dan Ciliwung sangat aneh jika Bogor kekeringan saat kurang hujan.

“Bogor tempo dulu tidak ada banjir, tapi sekarang setiap hujan besar saya, camat dan lurah deg-degan takut longsor, banjir, genangan di mana-mana. Diskusinya pun tidak berhenti-henti, apa karena drainase, sampah, sistem, atau lain-lainnya,” katanya.

Bima menuturkan, beberapa masalah air tidak terlepas dari manajemen air di masa lampau, yang menganggap air hanya didorong mengalir ke sungai.

Cara pandang warga yang setiap ada banjir, longsor menganggap itu masalah yang hanya perlu diatasi pemerintah harus diubah. “Kemudian, ada pula drainase dan limbah yang menjadi satu dikarenakan belum ada pemikiran maju untuk memilah,” pungkasnya.(wil/c)