25 radar bogor

Resahnya Pasien Talasemia-Kanker

BOGOR–Wacana pemerintah menghapus biaya pengobatan delapan penyakit katastropik dengan sistem cost sharing (tanggung renteng) terus menghantui masyarakat. Sebab, delapan penyakit itu membutuhkan perawatan rutin setiap bulan, bahkan minggu. Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit.

Dalam bahasa Inggris, catastrophe berarti bencana besar. Kiamat. Mematikan. Karena itu, penyakit katastropik adalah penyakit yang bisa berakibat fatal dan biasanya membutuhkan pengobatan berkelanjutan dan berbiaya besar.

Delapan penyakit katastropik tersebut adalah jantung, gagal ginjal, talasemia, kanker, sirosis hepatitis, leukemia, stroke, dan hemofilia. Isu tersebut terus menjadi pembahasan di dalam grup talasemia Bogor. “Di grup juga sudah ada yang share informasi itu, dan menjadi pembahasan serius. Karena ini bakal sangat memberatkan,” ujar Pendiri Popti Kota Bogor, Iwan Arifin.

Iwan yang juga memiliki anak talasemia mengungkapkan, jika sampai pengobatan talasemia tidak lagi ter-cover BPJS, dirinya harus merogoh kocek Rp10 juta untuk sekali berobat. Terakhir berobat sebelum ada BPJS Kesehatan pada 2010 saja, dia harus membayar Rp5,5 juta.

“Kadangkadang tiga minggu atau sebulan sekali,” kata dia. Anak Iwan adalah penderita talasemia mayor. Artinya, memiliki darah lebih pekat karena produksi darah di badan tidak stabil atau tidak bagus, sehingga harus selalu transfusi darah.

Anaknya diketahui menderita talasemia mayor pada 2010. Sejak itulah, anaknya harus mengalami pengobatan rutin. “Setiap minggu harus transfusi darah. Berobatnya pun masih pindah-pindah, baik itu RS Salak hingga Fatmawati,” bebernya.

Sebelum ada BPJS, Iwan sedianya menggunakan rekomendasi Menteri Kesehatan, tetapi kemudian berganti menjadi BPJS dengan perlakuan yang sama. Mendengar rencana BPJS menghilangkan cost sharing delapan penyakit, Iwan mengaku resah dan sangat terganggu.

“Kami paling mengingatkan yang nasional, biar nasional yang mengajukan protes. Namun, sampai saat ini belum ada komunikasi dengan Popti Pusat,” ungkap Iwan. Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat pun angkat bicara.

Dia menjelaskan, pada Kamis lalu (23/11), BPJS Kesehatan diminta memaparkan perkembangan pengelolaan JKN-KIS. Lalu, dalam paparan tersebut ditampilkan sebagai gambaran di Jepang, Korea, Jerman, dan negara-negara lainnya yang menerapkan cost sharing.

“Pada saat itu kami memberikan referensi akademik. Jadi, jangan salah paham duluan ya,” katanya. Menurut Nopi, saat era Askes dulu, pemerintah memberikan dana subsidi bagi penyakitpenyakit katastropik. Pemberian dana tersebut dilakukan sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2013.

“Sejak PT Askes (Persero) bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan pada 2014 lalu sampai sekarang, belum ada regulasi tentang subsidi pemerintah untuk penyakit katastropik. Padahal dulu ada subsidi. Saat ini hal tersebut tengah diusulkan untuk revisi perpres,” jelas Nopi.

Ia menegaskan bahwa sampai saat ini BPJS Kesehatan tetap menjamin kedelapan penyakit tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh regulasi pemerintah. “Jadi, masyarakat tak perlu khawatir. Selama peserta JKN-KIS mengikuti prosedur dan ketentuan, kami akan jamin biayanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ungkapnya.

Sebagai badan hukum publik yang berada di bawah naungan presiden langsung, Nopi juga mengatakan bahwa pihaknya tunduk dan patuh terhadap segala kebijakan yang ditetapkan nantinya oleh pemerintah. “Dalam mengambil kebijakan, pemerintah pasti mem perhatikan kebutuhan masyarakat dan kondisi di lapangan. Yang jelas, prioritas kami saat ini adalah memberikan pelayanan terbaik bagi peserta JKN-KIS,” pungkasnya.(wil/c)