25 radar bogor

Bangkit demi Anak-anak dengan Keterbatasan

KESAYANGAN: Suasana belajar-mengajar Susi dengan murid-murid di SLB Fitria Kota Bogor. MELDRIK/RADAR BOGOR
KESAYANGAN: Suasana belajar-mengajar Susi dengan murid-murid di SLB Fitria Kota Bogor. MELDRIK/RADAR BOGOR

Hidup dengan keterbatasan fi sik tak menghalangi langkah pengabdian Susilawati (28). Guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) Fitria, Jalan Rulita No 50, Kelurahan Harjasari, Bogor Selatan, itu tetap semangat mengajar dan memotivasi anak didiknya untuk tetap percaya diri. Khususnya bagi mereka, para penyandang tunarungu.

Intonasi bicara Susilawati terkadang rendah terkadang tinggi. Tapi secara keseluruhan, komunikasinya dengan orang lain cukup baik. Hal itu pula yang membuat mahasiswi semester tujuh jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Universitas Islam Nusantara Bandung ini dipercaya menjadi tenaga pendidik. Susi adalah bungsu dari empat bersaudara. Susi dikenal sebagai sosok yang hangat dan memperhatikan kebersihan.

Sewaktu kecil, pendengaran Susi normal seperti orang pada umumnya. Menginjak kelas dua SD, Susi kecelakaan. Ia ditabrak pengendara motor hingga drop selama dua bulan dan berujung pada gangguan pada pendengaran.

Saat pertama kali mengetahui pendengarannya terganggu, Susi mengaku sedih dan putus asa. Ia bahkan sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya, entah dengan cara apa. Namun, berkat dukungan orang tua dan keluarga, Susi bangkit dari keterpurukan.

”Saya masih teringat perkataan orang tua, kita harus menjalani hidup sebab hidup masih panjang. Saat itu, saya bangkit karena cita-cita saya yang menunggu di sana,’’ ujarnya. Sejak kecil, wanita kelahiran Bogor, 10 September 1989, ini memang bercita-cita sebagai guru.

Meski dengan keterbatasan pendengaran, Susi –sapaan Susilawati– tak pernah patah sema ngat mengejar cita-citanya itu. Perjuangannya diawali setelah menjadi alumni SLB Fitria, dengan menjadi guru pengganti jika ada guru yang sakit atau izin.

Setelah beberapa kali sukses menggantikan peran guru, sang kepala sekolah, Maja, melihat kinerja Susi yang bagus dan berpotensi. Ditambah lagi dengan segudang prestasi yang didapat Susi, seperti juara pertama lomba cerdas cermat se-Provinsi Jawa Barat, 2012 lalu.

Atas berbagai pertimbangan itulah Maja memutuskan untuk mempekerjakan Susi sebagai guru kelas dua, tiga, empat dan enam kelas khusus tunarungu.

”Meskipun memiliki kekurangan di pendengaran tetapi penyampaian ke anak bagus, semangat mengajarnya sangat tinggi. Orang tua murid juga berkomentar positif semua dan anak-anak senang dan nurut diajar oleh Susi. Untuk bahasa isyarat, saya lebih memilih Susi karena Susi lebih mengerti dan paham mengenai keinginan anak-anak,’’ tutur Maja.

Susi kembali bercerita. Sejak 2012, ia mulai menjadi guru kelas tunarungu di SLB Fitria. Susi mengaku ingin menjadi teladan dan mengajari anakanak yang memiliki keterbatasan. Juga memotivasi anak-anak agar bisa lebih percaya diri.

”Saya sangat cinta profesi ini. Terpenting adalah saya bisa mengajari anak-anak, apalagi karena saya juga memiliki hambatan. Jadi, saya harus memberikan motivasi dan menjadi teladan yang baik. Alhamdulillah saya bisa menjadi guru agar bisa juga dijadikan panutan, agar anak-anak tetap semangat,’’ tuturnya kepada Radar Bogor.

Gaya mengajar Susi di dalam kelas tunarungu menggunakan tiga cara. Yakni, komunikasi verbal, menggunakan alat peraga atau bahasa tubuh, dan bahasa isyarat. Menurut Susi, anak penyandang tunarungu tidak mudah mengerti jika diberikan materi hanya melalui komunikasi verbal. Maka dari itu, diperjelas melalui alat peraga dan bahasa isyarat.

”Harus ditunjukkan objeknya seperti wujud asli, tulisan ataupun gambar dan diperagakan agar lebih dimengerti,’’ ujarnya. Semangatnya menjadi guru tak hanya terlihat saat kegiatan belajar mengajar. Setelah mengajar di kelas, Susi juga mengajar ekstrakurikuler keterampilan khusus untuk tunarungu.

Keterampilan yang diajarkan seperti menjahit, membuat bros, menggambar, belajar artikulasi, komputer. Sebagai guru, Susi berharap anak didiknya bisa masuk dan menyesuaikan diri di masyarakat serta hidup mandiri. Apalagi jika bisa belajar di tempat yang layak seperti masuk ke perguruan tinggi dan mencetak prestasi yang tentunya membanggakan.

”Semoga bisa masuk ke universitas jika universitas bisa mengizinkan,’’ harapnya. Sebagai wanita, Susi pun ingin lebih mengembangkan diri dan mencapai keinginan lainnya.

Susi akan tetap menjadi guru dan berencana segera berumah tangga. ”Wanita juga harus menikah, nanti ingin berumah tangga sambil bekerja sebagai guru,’’ tuturnya sedikit tersipu. Bagi Susi, para guru harus memaknai Hari Guru, sebagai kebangaan dan refleksi sementara sebelum kembali berjuang mencetak generasigenerasi penerus bangsa yang berkualitas.(cr6/d)