25 radar bogor

Pengamat: Pemkot Jangan Cengeng!

BOGOR–Pemerintah Kota Bogor diminta tidak cengeng. Meski usulan subsidi operasional Transpakuan ditolak dewan, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) bukan satu-satunya sumber dana untuk membenahi sengkarut transportasi Kota Hujan.

Pengamat transportasi perkotaan Djoko Setijowarno mengatakan, Pemkot Bogor bisa saja mengajukan langsung ke pemerintah pusat. Atau bahkan ke Presiden Joko Widodo, mengingat aktivitas Presiden belakangan banyak di Bogor.

”Persoalannya, kalau saya lihat, dari awal tidak serius Pemkot-nya. Kalau dia serius, tidak punya uang, ngomong, kek, ke gubernurnya. Ngomong sama menteri, ngomong sama Presiden,’’ ujar dosen Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata itu kepada Radar Bogor, kemarin (17/11).

Djoko berpendapat, APBD bukan satu-satunya dana yang bisa diharapkan untuk menjalankan program maupun pembangunan. Seperti halnya menjalin kerja sama dengan badan usaha milik negara (BUMN) atau bahkan swasta sekalipun. ”Swasta juga bisa, kok, kalau dia mau BUMN juga bisa. Kalau dia serius, proposalnya bagus ke CSR, pasti dikasih kok,’’ sebutnya.

Namun, tentunya pengajuan proposal harus disertakan dengan rencana yang matang. Pemkot harus belajar dari penolakan DPRD Kota Bogor atas usulan subsidi sebesar Rp78 miliar yang disebut tidak jelas. Pemkot juga bisa menggaet para ahli transportasi untuk membantu merumuskan perencanaan.”Kalau memang tidak bisa, tinggal cari orang-orang transportasi suruh jelasin. Kang Yayat TP4 ada kok,’’ kata dia.

Persoalan lalu lintas di Kota Bogor, menurut Djoko, tak jauh berbeda dengan kota-kota lainnya. Sehingga cara penanganannya pun mestinya sama. Maka, jika ada penolakan dari legislatif, pemkot justru harus berkaca dan mengevaluasi kesalahan. ”Misalnya, Jakarta. Duitnya banyak, tapi kalau tidak serius, ya, tidak jadi,’’ ujarnya.

Saat diwawacara Radar Bogor usai mengikuti Rapat Paripurna di bilangan Kapten Muslihat, Kamis (16/11), Wali Kota Bogor Bima Arya sempat memperlihat­kan sikap pesimistis. Bima menyebut penolakan dewan berdampak pada gagalnya rencana operasional angkutan massal tahun depan. ”Kalau tidak disetujui oleh Dewan, ya, bagaimana. Kemungkinan baru 2019 konversi itu,’’ ucapnya.
Namun, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor, Rakhmawati, tak sependapat dengan pimpinannya itu. Dia menegaskan bahwa konversi 3 angkot menjadi 1 bus akan tetap dilaksanakan dalam waktu dekat. ”Subsidi memang tidak di-ACC, tapi program tetap jalan terus,” tegasnya kemarin.

Namun, memang akan ada sejumlah metode berbeda dari yang sebelumnya diren­canakan. Semisal, bus hasil konversi tidak boleh ngetem lan­taran disubsidi per kilo­meter. Ada penumpang atau tidak, bus harus tetap jalan.

Rakhma merasa optimistis beberapa badan hukum angkot bersedia mengonversi 3 unit angkotnya menjadi 1 bus. Karena nantinya, badan hukum tersebut berhak beroperasi di koridor-koridor strategis. ”Kita akan memberikan kemudahan-kemudahan, ini sedang kita bahas. Konversi harus jalan terus,’’ cetusnya.

Wanita yang juga menjabat sebagai pelaksana tugas (Plt) direktur Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) itu menambahkan, beberapa bus Transpakuan milik PDJT akan kembali beroperasi pada Rabu (22/11) mendatang. Kini sudah ada lima bus Transpakuan yang siap dioperasikan.

Sementara 10 bus lainnya yang merupakan hibah dari pemerintah pusat, masih dalam proses pembuatan surat tanda nomor kendaraan (STNK). ”Kalau Rabu memung­kinkan kita laksanakan. Kita sudah siap lima bus,’’ imbuhnya. Pemkot Modal Rp200 Juta, Pengusaha Rugi Rp272 Juta per Hari Di bagian lain, pengaturan ulang rute angkot atau rerouting diakui Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bogor, Rakhmawati, tidak berjalan optimal. Untuk itu, demi memuluskan programnya, Dishub Kota Bogor menganggarkan biaya sebesar Rp200 juta untuk operasional petugas mengarahkan sopir angkot.

Pengamanan memang bagian terpenting untuk mengoptimalkan program yang di-launching sejak Maret lalu itu. Pasalnya, perlu pengawalan khusus untuk membiasakan angkot-angkot melintas di rute yang baru.

Rakhma mengatakan, biaya sebesar Rp200 juta itu sudah ia ajukan di APBD Perubahan. Ia berharap anggaran tersebut dapat disetujui oleh DPRD Kota Bogor untuk bisa mengatasi sengkarut transportasi di Kota Hujan. ”Kita terbentur anggaran,’’ ucapnya.

Program rerouting memang banyak menuai protes dari para pengusaha angkot. Salah satunya, Tri Handoyo. Dia mengeluhkan pendapatan yang terus menurun. Memang bukan hanya karena rerouting, tapi juga akibat maraknya ojek online. ”Karena ketidakpastian kapan berjalannya rerouting itu,’’ keluhnya.

Seperti pada angkotnya dengan trayek 02 jurusan Bubulak–Sukasari. Sebelum pemberlakuan rerouting, setoran yang ia terima bisa mencapai Rp200 ribu per hari. Kini hanya Rp120 ribu per hari. Artinya, ada kerugian sekitar Rp80 ribu.

Jurusan lainnya, trayek 08 yang semula setorannya mencapai Rp100 ribu, kini ia terima dari sopir hanya Rp60 ribu. Nilai kerugiannya: Rp40 ribu. Jika diasumsikan dengan jumlah angkot di Kota Bogor sebanyak 3.412 angkot, kerugian keseluruhan para pengusaha angkot mencapai Rp272 juta per hari. (rp1/d)