25 radar bogor

14 Tahun Hidup Di Kolong Jembatan

MEMPRIHATINKAN: Jauh dari kata aman, Chakra bersama beberapa keluarga lainnya menjadikan kolong Jembatan Balai Binarum, Kecamatan Bogor Timur, sebagai tempat tinggal. MELDRICK/RADAR BOGOR

BOGOR–Sepintas tidak ada yang aneh dari Jembatan Balai Binarum, Kecamatan Bogor Timur. Namun, jika diamati lagi, di kolong jembatan yang merupakan akses menuju kawasan Puncak itu, ada sebuah kehidupan.

Berbatasan langsung dengan Sungai Ciliwung, permukiman di kolong jembatan ini memiliki akses terbatas. Satu-satunya jalan yang bisa diakses paling mudah adalah dari kanan jalan arah menuju Ciawi. Ada jalan setapak menurun dengan lebar kirakira satu meter. Itulah akses masuk ke kampung kolong jembatan.

Saat melewati jalan kecil itu, dua deretan rumah semipermanen yang terbuat dari tripleks mulai terlihat. Setiap rumah hanya memiliki luas sekitar 2 x 2 meter. Untuk dapur, kamar mandi, semuanya dipakai bersama-sama di luar rumah. Di depan rumah-rumah itu, tampak beberapa bangku yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk duduk-duduk penghuninya.

Seperti kemarin (15/11), beberapa penghuni tampak asyik duduk-duduk di sana sambil menyeruput kopi. Chakra (38), yang bermukim di sana, mengaku telah tinggal di sana sejak 2003 atau selama 14 tahun lamanya.

Chakra sehari-hari bekerja mengumpulkan barangbarang bekas dan mencari nafkah bagi istri dan dua anaknya yang kini duduk di bangku SD dan SMP.

“Awalnya saya tinggal di sebuah rumah kontrakan. Namun, karena biaya kontrakannya tinggi, saya memilih tinggal di bawah kolong jembatan, dengan menjalankan usaha mengumpulkan barangbarang bekas,” ungkapnya.

Sebagai pemulung, dia baru bisa mendapatkan uang paling lama tiga hari setelah mengumpulkan barang-barang bekas. Biasanya, dia bisa mendapatkan uang sekitar Rp100 ribu sampai Rp120 ribu.

“Uang tersebut langsung saya pakai untuk keperluan makan anak, istri, memberikan jajan anak-anak untuk bersekolah, serta menabung untuk pulang kampung, dan mentransfer uang kepada anak saya yang berada di Banten,” bebernya.

Sebelum jadi seorang pemulung, sejatinya Chakra dulu sempat membuka usaha di daerah Yogyakarta. Di sana, ia membuat aksesori dari sebuah kaca yang ia bentuk, seperti kupu-kupu dan lainlainnya.

Dia menuturkan, sekitar empat tahun lalu, dia sempat diusir dari tempat yang sekarang ia tempati tersebut. “Tempat ini tidak boleh ditempati, dengan alasan nanti akan terkena banjir. Akhirnya saya pada saat itu pergi dulu, ngontrak selama satu tahun.

Namun, karena biaya kontrakan yang semakin naik dan saya juga tak punya biaya, akhirnya saya beserta keluarga balik lagi ke kolong jembatan,” jelasnya. Selain Chakra, ada juga seorang tukang parkir bernama Malik, yang tinggal di kolong jembatan. Malik sudah sekitar sembilan tahun tinggal di kolong Jembatan Balai Binarum.

Ia memiliki seorang istri dan anak. Akan tetapi, istri dan kedua anaknya tidak tinggal bersamanya, dikarenakan mereka tidak bisa menerima kehidupan Malik.

Malik berangkat bekerja menjadi tukang parkir pada pukul 16.00 sampai 02.00. Dari pekerjaannya itu, Malik tidak bisa menargetkan mendapatkan penghasilan berapa dalam seharinya. “Yang penting bagi saya, bisa cukup untuk beli makanan dan menghidupi kehidupan saya,” ujar Malik. (wil/pkl1/c)