25 radar bogor

Bareskrim Keluarkan Surat Penyidikan Ketua KPK

JAKARTA–Surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap dua pimpinan Komisi Penang­gulangan Korupsi (KPK) sudah diterbitkan kepolisian Selasa lalu (7/11).

Saut Situmorang dan Agus Rahardjo, dua pimpinan KPK, dilaporkan oleh Sandy Kurniawan karena dianggap memalsukan surat untuk menjerat Setya Novanto dalam kasus korupsi.

Kemarin (8/11) pukul 10.00 Sandy Kurnia­wan dan Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto, mendatangi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian. Mereka nampak buru-buru masuk ke dalam gedung. Tiga jam kemudian, mereka keluar dengan membawa amplop cokelat berisi SPDP.

Fredrich sempat menunjukkan isi SPDP yang baru diambilnya. Dalam surat bernomor B/263/XI/2017/DitTipidum tersebut tertulis nama Agus Rarahdo dan Saut Situmorang. Keduanya diduga melanggar pasal 263 junto pasal 55 dan atau pasal 421 yang bermuatan pembuatan surat palsu dan penyalahgunaan wewenang. ”Surat ini sudah diserahkan juga ke Kuningan (KPK),” beber Fredrich.

Dia mengaku senang karena laporannya ditindaklanjuti dengan cepat. Fredrich pun berharap jika dalam waktu dekat, perkara dapat dilimpahkan ke kejaksaan. ”Agar bisa segera disidangkan,” tuturnya.

Fredrich menuturkan jika selama ini KPK telah melakukan pelanggaran atas kliennya, Setya Novanto. ”Surat dari imigrasi, sprindik, SPDP, banyak suratnya yang tidak benar,” ucapnya. Sayangnya, Fredrich menolak saat diminta untuk menyebutkan lebih rinci surat yang menurut pihaknya telah dipalsukan.

”Saya sudah mengatakan jika ada kasus pelanggaran yang dilakukan oleh oknum KPK. Sekarang betul,” katanya. Ketika disinggung kenapa hanya Agus dan Saut saja yang dilaporkan, Fredrich mengungkapkan, alasannya adalah keduanya telah membubuhkan tanda tangan pada surat-surat yang dianggap palsu. ”Kalau nanti pimpinan itu bilang ada pimpinan lain yang ikut tanda tangan, silakan dikembangkan oleh penyidik,” imbuhnya.

Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku sudah menerima salinan SPDP tersebut. Dia menegaskan, kedua pimpinan KPK sampai saat ini hanya berstatus terlapor, bukan tersangka. “Isinya itu ada dua pimpinan KPK sebagai pihak terlapor. Jadi perlu ditegaskan di sini, dua pimpinan KPK sebagai pihak terlapor,” ujarnya di gedung KPK kemarin.
KPK masih akan mempelajari lebih lanjut SPDP tersebut. Berikutnya, baru diputuskan apa langkah hukum yang bakal diambil. Kendati demikian, KPK yakin kepolisian akan bersikap profesional dalam menangani setiap proses hukum. Terutama yang menyangkut lembaga superbodi itu.

“Ini kan bukan terjadi kali ini saja. Jadi, kami pastikan KPK akan menghadapi hal tersebut. Kami percaya polisi akan profesional dalam menanganinya,” imbuh mantan aktivis Indonesia Corrup­tion Watch (ICW) tersebut.

Di sisi lain, KPK tetap melanjutkan agenda pemeriksaan para saksi terkait kasus kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Kemarin, misalnya, penyidik memeriksa eks Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi. Gamawan diperiksa untuk Anang Sugiana Sudihardjo dan Setya Novanto. Dia menegaskan Setnov sebagai tersangka dalam pemeriksaan kemarin.

“Ya (tersangka) Anang, Novanto, Irman dan seterusnya,” terangnya. Gamawan diperiksa selama 40 menit. Di pemeriksaan itu, dia diminta menjelaskan hubungan dengan Anang dan Setnov. “Saya ditanya dua hal. Pertama kenal nggak sama pak Anang? Saya bilang saya nggak kenal dan belum pernah ketemu orangnya. Kedua tentang Pak Novanto. Saya bilang saya nggak pernah bicara sama Pak Novanto, ketemunya paling di paripurna,” ungkapnya.

Penerbitan SPDP oleh Bareskrim Polri untuk pimpinan KPK sangat disayangkan. Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, polisi mestinya tidak buru-buru menerbitkan SPDP atau meneruskan laporan kubu Setnov. “Kalau tindakan KPK dianggap salah karena menyalahgunakan wewenang atau tindakan penyidikan lainnya, maka ada sarana yaitu praperadilan,” ujarnya.

Selain itu, polisi juga mestinya paham dengan ketentuan di pasal 50 KUHP yang menyebutkan bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan undang-undang, tidak dipidana. “Jadi jelas, dalam KUHP orang yang sedang menjalankan tugas undang-undang maka tidak bisa dipidana, contoh lain penembak eksekusi mati,” ungkapnya.  (jp)