25 radar bogor

Polemik di SMAN 1, Sumbangan Rp700 Ribu Kesepakatan Ortu Siswa

SMAN 1 Bogor

BOGOR–Polemik sumbangan pendidikan sebesar Rp700 ribu per siswa untuk pembangunan gedung 4 lantai di SMAN 1 Bogor akhirnya klir. Dana tersebut sebenarnya sudah disepakati oleh orang tua (ortu) siswa bersama komite sekolah. Hal itu dibuktikan dengan surat pernyataan sumbangan sukarela yang sudah ditandatangani oleh orang tua. “Sumbangan ini merupakan kesepakatan orang tua siswa yang telah diundang dalam rapat ketika awal masuk sekolah,” ujar Ketua Komite SMAN 1 Kota Bogor, Delima HA kepada Radar Bogor.

Dalam rapat tersebut, komite menjelaskan permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekolah dengan segala keterbatasan dana pendidikan yang ada. Sebab, meski menerima bantuan operasional sekolah (BOS) dari provinsi dan pusat, jumlah tersebut tidak cukup untuk membiayai semua kegiatan di SMAN 1 yang sangat banyak.

“Dana tersebut pun tidak cukup untuk membiayai semua kegiatan dengan reputasi SMAN 1 yang merupakan SMAN terbaik di Bogor. Selain itu, kami juga memiliki keterbatasan sarana dan prasarana. Dan ini sudah kami rencanakan bukan tahun ini saja, tapi sudah sejak 2016 dan itu disepakati oleh orang tua siswa yang saat ini sudah kelas XI,” beber Delima.

Biaya pembangunan gedung dengan empat lantai, kata dia, tidak sedikit. Ia mengatakan pendanaan tersebut mencapai Rp7 miliar. Itu pun sudah dibiayai orang tua siswa sebelumnya, yaitu yang saat ini kelas XI dan XII.

“Selain itu, juga kami sampaikan adanya kerusakan dan lain sebagainya,” tambahnya.

Sebagaimana tahun sebelumnya, jumlah yang dibutuhkan untuk biaya operasional sekolah adalah Rp450 ribu per siswa per bulan. Kemudian, kebutuhan meneruskan pembangunan gedung berlantai 4 yang saat ini sudah hampir tahap selesai, sekolah membutuhkan tambahan dana kisaran Rp250 ribu per siswa per bulan. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya dikarenakan adanya kenaikan harga bahan infrastruktur akibat inflasi.

“Sebenarnya ini namanya sumbangaan sukarela. Sebelumnya dikatakan dana pembangunan sekolah (DSP), tapi karena DSP tidak dibolehkan lagi, maka sejak 2015, DSP diserahkan kepada komite untuk disampaikan kepada orang tua mau seperti apa bentuknya. Jumlahnya silakan, hanya kami memberitahu kebutuhan kami sejumlah ini,” ungkapnya.

Pada waktu rapat bersama orang tua, kebutuhan sekolah sudah disampaikan. Hanya saja, tentu komite juga menyampaikan bahwa jika kondisi ekonomi orang tua siswa tidak mampu, mereka hanya perlu menyampaikan dan membuat surat pernyataan ataupun melampirkan surat keterangan tidak mampu. “Intinya, kami sudah sepakat dan sudah sangat transparan disampaikan saat rapat bersama hampir semua orang tua siswa. Kami pun men­doku­mentasikan kese­pakataan-kesepakatan masing-masing kesanggupan mereka membayar berapa,” tegasnya.

Makanya, dalam kuitansi pembayaran, tidak tercantum ada nominalnya. Hal itu agar tidak ada kesan memaksa. “Kalau kami menyebutkan nanti malah salah. Makanya, mereka (orang tua siswa) mau nyumbangnya Rp100 ribu, 200 ribu atau sampai Rp1 juta pun silakan. Tidak kami sebutkan di kuitansi, tapi kan sudah ada dalam surat pernyataan mereka sumbang berapa,” cetusnya.

Sedangkan, mengenai komposisi komite, tidak ada dalam aturannya yang mengharuskan ketua komite merupakan orang tua siswa yang anaknya masih aktif. Tapi, dalam Permendikbud No 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, hanya dituliskan diutamakan, bukan diharuskan.

Di tempat yang sama, Kepala SMAN 1 Kota Bogor, Bambang Aryan menambahkan bahwa kebutuhan dana yang terjadi di SMAN 1 sangat berbanding lurus dengan output yang terlihat dari anak-anak didik mereka. Menurut Bambang, banyak sekali prestasi anak yang terus-menerus diraih. Sekolah pun perlu biaya dalam mendukung mereka mengikuti olimpiade di berbagai tempat, lomba di berbagai daerah yang tidak mungkin cukup hanya mengandalkan dana BOS.

“Bentuk nyata pembangunan pun ada, lantai 1 sampai lantai 4 terlihat fisiknya, kami membangun lab, perpustakaan, ruang kelas. Dan yang paling penting, ini disampaikan sejak awal, tidak ada paksaan, tidak ada pungutan,” tutupnya.

Terpisah, Kepala Balai Pelatihan Pengawasan dan Pendidikan (BP3) Wilayah I Bogor Herry Pansila menyatakan, sumbangan pendidikan sudah ada sejak SMAN 1 Bogor masih dikelola oleh Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bogor. Artinya, ada keinginan yang kuat dari komite, guru maupun orang tua untuk membangun gedung 4 lantai tersebut.

“Ternyata saat dikelola di Disdik Jabar, belum kesampaian pembangunan gedung 4 lantai. Akhirnya dilanjutkan, dan Disdik Jabar mendukung, selama proses pemungutan sumbangan dilaksanakan secara musyawarah mufakat, serta tidak memberatkan. Dan itu sudah saya cek, ada orang tua yang sanggup membayar Rp700 ribu, Rp400 ribu bahkan yang tidak mampu dibebaskan,” ujarnya kepada Radar Bogor.

Menurut Herry, sumbangan tersebut sudah sesuai prosedur dan kesepakatan orang tua yang dikawal oleh komite sekolah hingga program pembangunan gedung 4 lantai di SMAN 1 Bogor rampung. Kalaupun ingin diganti komite sekolah, sambung Herry, dipersilakan. Tapi yang jelas, struktur komite sekarang mulai dari ketua hingga anggota sudah memenuhi Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

Terkait keberadaan sumba­ngan pendidikan memang diper­bolehkan. Itu sesuai dengan PP No 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, yang jelas tercantum di pasal 51 dan 52. Bahkan, ada istilah pungutan yang diperbolehkan. Karenanya, dia mengimbau kepada seluruh sekolah dan komite turut menyosialisasi­kannya.

“Media juga bisa membantu dalam hal sosialisasi, mungkin ada orang tua yang tidak paham. Jangan sampai kesannya, setelah dikelola ke provinsi baru muncul masalahnya. Padahal, sumbangan ini sudah ada sebelum SMA dialihkan ke provinsi, justru provinsi men-support saja,” tandas Herry. (wil/ran/c)