BOGOR–Luas lahan produktif di Kota Hujan setiap tahun terus menyusut. Tanah untuk tanaman padi tersebut banyak yang digunakan sebagai perumahan. Dari total luas wilayah 11.850 hektare, lahan yang digunakan untuk pertanian hanya 2,7 persen atau 321 hektare.
Menurut Kabid Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada Dinas Ketahanan Pangan Kota Bogor, Apip Supriadi , sepanjang 2017, rata-rata kebutuhan beras di Kota Hujan mencapai 8.562 ton per bulan atau sekitar 102.753 ton per tahun.
Sementara kemampuan produksinya hanya berkisar 540 kilogram dalam sekali panen. “Kota Bogor merupakan daerah konsumen. Sehingga, dengan lahan produktif yang tersisa dan luas lahan sekitar 321 hektare, hanya 10 persen untuk memenuhi kebutuhan beras kita,” kata Apip.
Sementara, BPS Kota Bogor mencatat, potensi pertanian di Kota Bogor hanya berada di wilayah Kecamatan Bogor Barat dan Bogor Selatan. Itu pun, sebagian besar dimiliki perusahaan-perusahaan dan para petani hanya bertugas menggarap lahan-lahan itu. Berbeda dengan data yang dikeluarkan Dinas Ketahanan Pangan, BPS mengklaim, dengan luas sawah 321 hektare, Kota Bogor hanya mampu memproduksi 3 persen dari kebutuhan berasnya.
“Tapi, itu sudah cukup bagus. Fenomena ini kurang lebih sama dengan kota lain di Jawa Barat. Karena, untuk produksi pertanian, tidak bisa dibandingkan dengan kabupaten. Karena perbedaan luas wilayah dan parameter pembangunannya,” kata Kasi Produksi BPS Kota Bogor Lukman Ishak.
Menurut Ishak, karena Kota Bogor lebih condong pada konsumsi, maka harus mengubah pola pertanian untuk meningkatkan daya beli para petaninya. Dia mencontohkan, pemkot sudah waktunya memulai menggenjot pascaproduksi pertanian. “Kan konsumsinya tinggi. Arah pertaniannya diubah dengan membina petani agar bisa langsung mengemas beras-beras untuk langsung dikonsumsi. Langsung di-packing gitu karena akan lebih menguntungkan,” katanya.
Jadi, daerah perkotaan memang lebih cocok pada sektor agroindustri. “Karena di sini banyak tempat kuliner. Jadi, pasca-panennya itu yang mesti ditingkatkan oleh pemerintah daerah. Dengan luasan sawah yang ada, memang sulit untuk memenuhi kebutuhannya sendiri,” ungkapnya.
Ditambah lagi, Pemkot Bogor belum memiliki rencana detail tata ruang (RDTR), untuk setidaknya mempertahankan eksisting sawah untuk jangka panjang. Belum adanya RDTR, lantaran rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Bogor saat ini tengah direvisi.
“Justru itu kita belum ada RDTR, sawah juga sedang dipetakan kerja sama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG). Rencananya, juga akan dibuatkan perda lahan pertanian berkelanjutan. RDTR sendiri nanti akan disusun setelah RTRW disahkan. Jadi, kita masih tunggu RTRW ini untuk segera merancang RDTR,” timpal Kasubid Tata Ruang Bappeda Kota Bogor Naufal Isnaeni.
Menurut Naufal, RDTR akan mengatur secara rinci rencana pembangunan, peruntukan lahan dan sebagainya yang berkaitan dengan aksesibilitas dan kebutuhan masyarakat. “Tapi, tidak akan mengubah total eksisting yang ada. Misalnya, jika ada satu wilayah plotting-nya kawasan niaga, akan tetap sama namun diperbaiki dari sisi sarana prasarananya, akomodasi dan transportasinya,” tandasnya.(wil/c)