25 radar bogor

Mengunjungi Penghasil Kopi Terbesar di Kabupaten Bogor

(Meldrik/ Radar Bogor) SERIUS: Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan terus memberikan pembinaan kepada para petani kopi di Kecamatan Tanjungsari.

SERIUS: Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan terus memberikan pembinaan kepada para petani kopi di Kecamatan Tanjungsari. (Meldrik/ Radar Bogor)

Angin segar buat para petani kopi di Bogor. Kini pemerintah desa hingga Kabupaten Bogor fokus meningkatkan kualitas produk termasuk hidup petani.

Kepala Desa Tanjungsari, Didi Rosidi, mengaku masih memperjuangkan potensi hasil tani kopi. Menurutnya, saat ini para petani membutuhkan sarana penunjang untuk lebih memaksimalkan produktivitas dan ekonomi para petani. “Kami sangat butuh sarana UPH (unit pengelolaan hasil),” katanya.

Selain itu, ia berharap peme­rin­tah dapat membantu proses peningkatan jalan yang menjadi akses menuju perkebunan kopi. “Dari dana pribadi, sebagian kecil jalan sudah dilakukan peng­erasan. Saya harap peme­rintah bisa membantu betonisasi jalan ke embung. Sebagai transit adalah embung,” tuturnya.

Kabid Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Bogor, Irma Villayanti menera­ngkan, Kecamatan Tanjungsari memiliki perkebunan kopi jenis robusta terluas di Kabupaten Bogor.

Beberapa wilayah tersebut antara lain, Desa Tanjungsari 425 hektare, Antajaya 600 hek­tare, serta Buanajaya 60 hektare. “Titik fokus kami pada kualitas produksi dan edukasi, agar para petani lebih cakap mengolah tanamnya, seperti pema­ngkasan,” tuturnya.

Untuk meningkatkan kualitas kopi, sambung dia, unit pelak­sana teknis (UPT) terus menge­dukasi petani. ”Selain pemang­kasan, terkait cara penyortiran kopi hasil panen sebelum me­nem­bus pasaran dan memiliki harga lebih tinggi,” tuturnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, kopi asal Sukamakmur, Cariu, dan Tanjungsari telah melalui penilaian dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember.
Untuk kopi Sukamakmur, mendapat nilai memuaskan yaitu 82,75 dengan catatan cita rasa acidy, caramelly, spicy dan chocolat. Sedangkan, kopi Tanjungsari mendapat skor 80,175 dengan catatan cita rasa, nutty, soy bean, caramelly, mild dan rether.

Begitu pun dengan kopi Cariu mendapat skor 82,50 dengan catatan nutty, soy bean, rub­bery dan fruity. Meskipun kuali­tas cita dan rasa kopi robusta Bogor telah berstandar dunia. Para petani dan pemerintah Kabu­paten Bogor belum menge­tahui harga pasaran kopi. Sehingga, Kepala UPT Pertanian, Tatang Mulyadi meminta pada Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) untuk buka-bukaan.

“Saat ini, dijual sekilo Rp21 ribu. Kami tidak tahu harga sebenarnya berapa, karena itu para petani butuh kejelasan,” tegasnya.

Ia berharap, upaya pihaknya mempertemukan petani kopi Tanjungsari dengan AEKI, Koperasi Mitra Malabar dan beberapa kedai kopi ini bisa memberikan pencerahan kepada petani.

Khususnya, keterangan harga pasar kopi yang tegas terpaut pada peningkatan taraf hidup petani. Lebih lanjut Tatang menerangkan, pola tanam petani kopi di Tanjungsari dan sekitarnya masih mengunakan pupuk kandang untuk menjaga ciri khas kopi Bogor.

“Kami harapkan, kopi organik jadi kekhasan, karena itu kami pakai sistem pemupukan organik,” ucapnya.

Wakil Ketua AEKI Pranoto Soenarto menerangkan, kopi robusta kini tengah sedang dalam kejayaan. Hal itu ditandai dari banyaknya peminat.

“Data yang kami miliki, 70 persen masyarakat di kota, konsumen robusta. Karena itu, kami mulai berkomitmen menghasilkan robusta yang berkualitas dan 60 persen kualitas kopi ditentukan peta­ninya,” tegasnya.

Untuk memajukan pertanian kopi di Bogor, sambung dia, budidaya tanam kopi harus ada kesamaan. Sehingga, dibutuhkan kebun induk dan gedung percontohan.

“Yang saya perhatikan, kekura­ngan penanaman kopi di sini adalah pemangkasan. Maka, perlu edukasi bahwa dengan pemangkasan yang bagus akan meningkatkan produktivitas. Jadi, gedung percontohan sangat perlu,” ucapnya.

Selain itu, ia menilai butuh ada­nya doktrinasi pada para petani. Bahwa, kebun kopi adalah satu-satunya media penyambung hidup baginya. Sehingga para petani bisa fokus pada kualitas. “Jika tanaman sudah dianggap sebagai sumber pendapatan. Maka, peningkatan tanam dan kualitas pemeliharaan semakin kuat. Dan pasti akan meme­ngaruhi kuantitas,” ungkapnya.

Hal itu dimaksudkan untuk membawa kopi produk Bogor mampu bersaing hingga ke level internasional. Apabila kopi produk Bogor masuk pasar, maka tak hanya kualitas, kuantitas juga jadi kunci sukses.

“Seperti di Temanggung yang kopinya menang kontes. Ketika ada permintaan 4.000 ton dari Korea Selatan, mereka hanya punya kemampuan 2.000 ton. Akhirnya gagal,” tuturnya.

Terkait harga, ia memastikan kopi robusta Bogor mampu dijual menyesuaikan pasar. Yaitu, kisaran 30 ribu hingga 50 ribu per kg. Hal itu dibedakan dari kualitasnya.(azi)