25 radar bogor

Ma’nene, Menghormati Yang Telah Berpulang, Merekatkan Kekeluargaan (2-Habis)

MIFTAHUL HAYAT/JAWA POS RUMAH KEABADIAN: Suasana pemakaman di Tonga Riu, Toraja Utara. Batu raksasa itu adalah Lo’ko’ Mata, makam batu terbesar di Toraja Utara. Ada lebih dari 100 lubang tempat menyimpan jenazah.

RUMAH KEABADIAN: Suasana pemakaman di Tonga Riu, Toraja Utara. Batu raksasa itu adalah Lo’ko’ Mata, makam batu terbesar di Toraja Utara. Ada lebih dari 100 lubang tempat menyimpan jenazah. (MIFTAHUL HAYAT/JAWA POS)

TIGA peti baru saja tiba dari Makassar pada 14 September. Peti-peti cokelat itu lantas dijejerkan di depan sebuah liang lahad di sudut Lo’ko’ Mata. Liang itu belum berpintu. Masih baru. Minggu Sesaruru, salah seorang anggota famili, tampak siaga menjaga tiga jenazah keluarganya. Yakni sang tante bersama dengan suami dan anaknya.

Yang menarik, di bagian dalam peti itu terdapat bungkus-bungkus permen. Bungkus tersebut bukanlah sampah karena masih ada isinya. Permennyapun bukan permen khusus, hanya permen yang biasa digunakan sebagai kembalian pengganti uang koin. Minggu menuturkan, permen itu sengaja diletakkan di sana sebagai sesajen.

Bukan kembang tujuh rupa atau kemenyan, sesajen untuk keluarga yang sudah meninggal pun berganti. Kebanyakan barang plastik.

Permen-permen kecil menjadi substitusi sirih dan taburan bunga. Tak jarang pula anggota keluarga menyajikan minuman dalam kemasan botol. Minuman botol itu merupakan pengganti kopi.
Karena itu, jangan heran jika banyak sekali bungkus plastik makanan atau botol plastik yang bertebaran di sekitar Lo’ko’ Mata.

Plastik-plastik itu bertumpuk di depan liang, saking ba nyaknya sampai terkadang berserakan. Yang tidak tahu mungkin akan menganggap plastik-plastik itu sebagai sampah. ”Biasanya yang disajikan itu adalah yang disukai almarhum,” ucap Minggu ketika itu.

Tak cuma di Lo’ko’ Mata, masyarakat yang menggunakan makam di batu lain melakukan hal serupa. Misalnya di Londa. Dalam makam gua itu, bukan hal aneh botol-botol plastik bersanding dengan tengkorak-tengkorak yang sudah semakin keropos. Juga, menurut masyarakat setempat, sesajen plastik itu tidak boleh diambil dari tempatnya. Jika diambil, itu tanda tidak menghormati almarhum.

Setiap ma’nene, keluarga memang tidak pernah lupa membawa semacam seserahan seperti kopi dan sirih. Bahkan, kebiasaan itu mereka lakukan sejak jasad keluarga masih disimpan dalam rumah tongkonan.

Bagi masyarakat Toraja, tinggal serumah dengan orang yang sudah meninggal adalah hal lumrah. ”Orang sini tidak menganggapnya meninggal, tetapi hanya sakit,” tutur Marten Bumbungan, tokoh adat setempat.

Karena orang itu dianggap masih sakit, keluarga masih memperlakukannya seperti manusia hidup. Setiap hari dibawakan makanan, meskipun tidak ada yang menghabiskan. Piring makanan dan gelas yang berisi kopi selalu disajikan di depan pintu peristirahatan jenazah. Kadang juga jenazah diajak mengobrol sedikit, sekadar menanyakan apakah mereka lapar atau tidak.

Meski selalu membawa sajian, masyarakat Toraja masa kini sudah mengubah mindset. Sajian itu bukan lagi untuk ”dikonsumsi” almarhum, melainkan hanya bentuk kasih sayang dan penghor matan. Sebab, tradisi ma’nene kini berlandasan iman Kristiani.

Marten menjelaskan, dalam iman Kristen, manusia yang sudah meninggal tidak punya hubungan lagi dengan mereka yang masih hidup, meski keluarga. Bagaimana kehidupannya setelah meninggal di alam baka, itu urusan almarhum dengan Sang Pencipta.

”Karena itu, dalam ajaran Kristen Protestan, kita tidak berdoa untuk orang yang meninggal. Kita berdoa untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan,” jelasnya.

Kepercayaan Kristen semacam itu memang tampak bertolak belakang dengan tradisi masyarakat Toraja sejak nenek moyang. Walau begitu, masyarakat Toraja ternyata bisa memadukan kedua paham yang tampaknya berbeda tersebut.

Sejak 1947, upacara ma’nene menggunakan cara Kristen. Rangkaian perayaannya dimulai dengan ibadah di gereja setempat dan diakhiri pula dengan ibadah penutupan.

Lewat ibadah itu, para ­pendeta selalu mengingatkan bahwa ma’nene bukanlah kesempatan berhubungan lagi dengan roh keluarga. Tetapi untuk ”bersua” dengan raga keluarga yang telah mendahului mereka sembari mengingat segala kebaikan dan budi yang sudah diajarkan almar hum.(Debora Danisa Sitanggang/ c11/dos)