25 radar bogor

Baru Satu Mayat Teridentifikasi

PANIK: Sejumlah keluarga korban kebakaran pabrik kembang api di Kosambi Tangerang mendatangi Posko Ante Mortem di Instalasi Layanan Disaster Victim Identification (DVI), RS Polri Sukanto Kramat Jati, Jakarta, Jumat (27/10).
PANIK: Sejumlah keluarga korban kebakaran pabrik kembang api di Kosambi Tangerang mendatangi Posko Ante Mortem di Instalasi Layanan Disaster Victim Identification (DVI), RS Polri Sukanto Kramat Jati, Jakarta, Jumat (27/10).

JAKARTA–Hampir 24 jam setelah kebakaran pabrik mercon di Kosambi, Tangerang, Tim Disaster Victim Identification (DVI) RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, baru bisa meng­identifikasi satu orang. Tubuh korban rata-rata hangus dan tidak dapat dikenali lagi.

Korban yang berhasil diidentifikasi bernama Surnah,  lahir di Tangerang, 8 Mei 2003. Warga Kampung Salembaran, Desa Belimbing, Kecamatan Kosambi, Tangerang Banten. Gadis 14 tahun ini berhasil dikenali dari pencocokan gigi, keterangan medis, usia dan jenis kelamin, serta tinggi badan.

“Meskipun korban sudah tidak ada tangan dan kaki, tapi kami berhasil identifikasi tinggi badan, lalu dicocokkan dengan data dari keluarga,” kata Kombes Pol Pramujoko, ketua tim DVI.
Pramujoko mengatakan bahwa rata-rata jenazah korban rusak parah. Identifikasi primer dari sidik jari dan pengenalan wajah gagal dilakukan karena rusak. Beberapa bahkan sudah hangus terpanggang.

Yang masih dapat diharapkan adalah identifikasi gigi dan DNA. Kondisinya gigi rata-rata masih utuh meskipun rusak dan 80 persen dalam kondisi bisa diperiksa. Pramujoko meminta agar keluarga korban yang merasa kehilangan anggota keluarganya agar membawa foto-foto korban. “Terutama foto yang menunjukkan gigi,” katanya.

Selain foto, bisa juga rekam medis terakhir pemeriksaan gigi. Jika keluarga tidak menyimpan, bisa diinformasikan di mana terakhir kali periksa, tim DVI akan membantu. “Jika ada foto rontgen panorama gigi, itu bakal sangat membantu sekali,” katanya.

Selain data primer, tim DVI juga butuh data-data sekunder dari keluarga korban, seperti identitas, dan keterangan menyangkut ciri-ciri pribadi korban. “Biasanya yang tahu orang terdekat, misalnya ada tumor di perut, atau pernah hamil,” katanya.

Selain itu, juga informasi tentang aksesori yang diketahui dipakai korban ketika bekerja. “Misalnya pakai cincin ataupun jam tangan,” katanya.

Keluarga korban yang datang ke posko DVI memang membawa data-data tersebut. Wahidin, pria asal Lebaksiu, Tegal, Jawa Tengah, ini membawa serta barang-barang milik sang adik, Muslimin (24) yang diketahui tengah bekerja di pabrik saat hari nahas itu. “Kami bawa ijazahnya, lalu barang-barang pribadi, seperti sikat gigi,” katanya.

Wahidin menuturkan, ia dan beberapa orang anggota keluarga meluncur menuju Tangerang begitu mendengar kabar kebakaran pabrik. Mereka telah mencari di RS sekitar Tangerang tempat warga selamat dilarikan. “Baru dua minggu adik saya bekerja di pabrik itu,” katanya.

Kadarisman, adik Muslimin menambahkan, bahwa adiknya sudah tidak bisa dihubungi lagi sejak kejadian. Namun, ia dan keluarga masih menunggu kepastian apakah adiknya memang benar-benar tidak selamat.

Ketua tim Antem Mortem, Kombes Pol Sumirat menyatakan bahwa sikat gigi juga berguna. Bisa digunakan untuk mengenali DNA korban.

Sumirat menyatakan, hingga kini belum bisa dipastikan berapa jumlah korban tewas dalam insiden tersebut. Tim DVI memeriksa total 47 kantong mayat. “Masing-masing kantong bisa dua, lebih dari satu,” katanya.

Sementara itu, laporan kehilangan dari keluarga mencapai 49 orang. Jumlah ini pun, kata Sumirat, belum bisa dijadikan acuan karena terkadang ada laporan ganda akan satu korban yang sama. “Makanya, laporan korban insiden kebakaran semacam ini biasanya lebih banyak dari jumlah sebenarnya,” kata Sumirat.

Terpisah, Dirjend Pembinaan, Pengawasan Ketenagakerjaan danKeselamatan dan Kesehatan Kerja (PPK – K3) Sugeng Priyanto menyatakan, pihaknya telah menerjunkan tim khusus pengawas ketenagakerjaan ke lokasi untuk menyelidiki indikasi pelanggaran.

Sugeng mengatakan, tim akan meneliti kepatuhan perusahaan dalam menerapkan sistem menajemen K3 (SMK3). “Terutama bagi para pekerja,” katanya.

Sarana K3 yang minimal harus dipenuhi di antaranya adalah penyediaan alat pelindung bagi para pekerja saat melakukan tugasnya. Selain itu, ketersedian pintu evakuasi juga akan diperiksa. Sugeng menyatakan, setiap perusahaan punya SOP dan jalur penyelamatan yang harus dibuat dan dipenuhi. “Saya juga dengar info pintunya digembok, kami akan selidiki,” kata Sugeng.

Hal lain yang akan diselidiki adalah letak pabrik yang amat dekat dengan sarana pendidikan, yakni SMPN 1 Kosambi yang berjarak sekitar 100 meter di timur pabrik.
Sugeng juga berjanji akan mengusahakan terjaminnya hak-hak para pekerja seperti jaminan sosial dan pembayaran upah.

Indikasi pelanggaran lainnya adalah bahwa pihak pabrik mem­pekerjakan anak di bawah umur. Bisa dilihat dari penuturan beberapa keluarga menyebut bahwa pabrik menerima pekerja maksimal lulusan SMP. Beberapa korban juga diketahui masih berusia belia di bawah 15 tahun.

Menteri Pemberdayaan Perem­puan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise meminta untuk menyelidiki lebih lanjut perihal dugaan tersebut. ”Saya merasa kecewa dengan pabrik atau perusahaan yang masih mem­pekerjakan anak,” tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan sudah diatur jika anak-anak dilarang dipekerjakan. Apalagi dalam pekerjaan yang buruk. ”Walaupun pada undang-undang tersebut anak usia 13 hingga 15 tahun boleh dipeker­jakan tapi untuk pekerjaan ringan,” ucap Yohana. Pekerjaan ringan yang dimaksud adalah tidak mengganggu perkem­bangan, kesehatan fisik, mental, serta sosial si anak.

Menurutnya, bekerja di pabrik petasan sangat membahayakan anak. Selain itu dapat mengganggu perkembangan fisik anak. ”Saya mengimbau pemerintah daerah melalui dinas ketenagakerjaan melakukan pengawasan atau pemantauan di perusahaan, apakah mempekerjakan anak pada pekerjaan buruk dan membahayakan atau tidak,” saran Yohana.

Jika perusahaan bandel, maka menurut Yohana, perusahaan tersebut dapat dikenakan sanksi. Penerapan sanksi ini harus benar-benar dilakukan. Tujuannya tentu menghindari pemberian pekerjaan yang berat dan bahaya kepada anak-anak.(tau/lyn)