25 radar bogor

Berburu Koin Dua Abad

ANTIK: Lukman, pedagang barang antik, menunjukkan beberapa koleksi barang lawas yang ada di lapaknya, Jalan Dewi Sartika, kemarin (12/10). Salah satu barang lawas yang dikoleksinya adalah koin dan senjata VOC yang berusia dua abad lebih
ANTIK: Lukman, pedagang barang antik, menunjukkan beberapa koleksi barang lawas yang ada di lapaknya, Jalan Dewi Sartika, kemarin (12/10). Salah satu barang lawas yang dikoleksinya adalah koin dan senjata VOC yang berusia dua abad lebih

Siapa yang belum pernah melewati Jalan Dewi Sartika? Jalan yang berjejer ratusan lapak pedagang kaki lima (PKL) ini memang tak pernah sepi pengunjung. Namun, ada satu lapak yang mencuri perhatian. Terlihat beberapa aneka barang antik dipajang, mulai koin zaman VOC hingga koin di masa Raja Willem III. Sibuk benar Lukman Nur Hakim kemarin (12/10). Kedua tangannya membersihkan barang-barang di dalam lapak/toko berukuran 1,5 x 2 meter.

Barang-barang itu terlihat tua termakan waktu. Warnanya cokelat karena berkarat. Ada pula beberapa bagian yang retak. Meski begitu, Lukman berusaha menjaga kebersihan barang-barang dagangannya. “Meski sudah lawas namun masih bernilai,” ujarnya.

Kepada Radar Bogor, Lukman mengisahkan, perburuan barang antik dimulainya tahun 1990-an. Mengoleksi barang-barang kuno memanglah menjadi hobi pria lulusan Fakultas Teknik ini. Tanah Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan Papua pernah dijejakinya untuk mendapatkan barang antik idaman.

Koleksinya pun tak sedikit yang membuat tercengang. Seperti koleksi puluhan koin mata uang asing yang berderet rapi. Ia pun menunjukkan salah satu koin milik VOC yang berusia dua abad lebih. Pada badan koin yang terbuat dari timah itu tertulis angka tahun 1760. Mata uang kuno yang juga dikenal dengan nama Doit ini, merupakan alat tukar di negara East Indies (dulu Indonesia), India, Ceylon dan Malacca. “Selain itu, ada juga koin di masa Raja Willem III yang memimpin tahun 1890 lalu. Mata uang Belanda, tapi berlaku di Indonesia, pecahannya ragam, misalnya 1 sen, 5 sen,” urainya.

Lukman mengatakan, tak semua barang berusia puluhan bahkan ratusan tahun disebut antik. Antik, menurutnya, adalah selain tentunya tua, juga barangnya masih mulus tanpa cacat. Atau dikenal dengan istilah good excellent. “Semakin tua, semakin antik, tapi yang tua belum tentu antik, begitu juga sebaliknya. Keantikannya bisa gugur kalau cacat,” ungkapnya yang sudah 30 tahun lamanya menjual barang antik.

Selain koin, kata Lukman, barang antik lainnya yang kental dengan unsur budaya dan sejarah, yakni porselen yang berasal dari Tiongkok dan Eropa. Mengapa Tiongkok? Sebab, menurutnya, selain memiliki nilai seni tinggi, juga ada tambahan sisi ekonomisnya.

“Piringnya dari era Dinasti Ching, peralihan dari Dinasti Ming, antara tahun 1700 hingga 1800-an. Kalau piring Eropa, tahun 1811-an. Jadi, tidak semua piring-piring ini memiliki nilai jual, pengetahuan soal literatur, sejarahnya juga jadi nilai jual. Kalau cuman modal ngomong doang enggak cukup,” tukasnya.

Tak berhenti di situ. Sesaat pandangan tertuju pada sebuah pistol yang biasa dilihat di film-film peperangan zaman dulu. Bentuknya sederhana, memanjang, dengan ukiran di bagian atas pistol, dengan tulisan VOC di akhirnya.

“Ini pistol zaman Belanda asli, bukan replika. Kenapa asli? Karena kalau yang asli bodinya mulus, halus. Kalau replika, kasar. Pistol ini digunakan di tahun 1700-an. Pelurunya serbuk, tapi dikasih pelor, beratnya 3-4 kilogram. Masih bisa digunakan kalau diperbaiki, harganya tergantung penawaran,” pungkasnya. Lebih lanjut Lukman mengatakan, yang datang ke lapaknya bukan hanya para kolektor barang antik.

Selain hobi juga banyak yang menjadikan barang antik sebagai investasi. Berbeda dengan kaum perempuan yang kata Lukman membeli sifatnya insidental. “Kisaran harga seluruh barang, mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Usianya ada yang bahkan 600 tahun, tapi ada di rumah,” tandas Lukman.(wil/c).