25 radar bogor

Puslabfor Polri Dalami Kasus Bak Limbah Beracun

BOGOR–Bareskrim Polri kemarin menurunkan tim dari pusat laboratorium forensik (Puslabor) Polri untuk mengolah tempat kejadian perkara (TKP) di pabrik kemasan telur, Kampung Cibunar, Desa Cibunar, Kecamatan Parungpanjang.

Selain untuk mendalami kasus kematian tujuh orang di bak penampungan limbah, tim juga mengantisipasi potensi gas beracun agar tidak kembali menimbulkan korban.

Sebelum melakukan olah TKP, polisi buru-buru memasang garis dilarang melintas di lokasi pabrik. Artinya, warga dilarang mendekat kawasan ini untuk menghindari hal-hal tak diinginkan.

Kasubag Humas Polres Bogor AKP Ita Puspitalena, menjelaskan bahwa olah TKP oleh Puslabfor dipimpin langsung Kompol Faizal Rahmat dan Iptu Helmi.
Dimulai sekitar pukul 11.30 sampai 16.00 WIB, tim tampak mengambil sejumlah sampel cairan dan udara dari lokasi.

Tim Puslabfor sangat berhati-hati dalam olah TKP. Meng­gunakan alat khusus, sampel udara di dalam bak penampungan hingga beberapa titik di kawasan pabrik juga diteliti. Itu untuk menghindari kemungkinan kebocoran gas di titik lain yang bisa membahayakan warga sekitar.

“Mulai sampel udara dalam bak penampungan limbah, pembuatan rak telur, sampel udara dalam ruangan dekat pintu keluar, dua botol lumpur dari bak penampungan limbah, serta bahan baku, semua diambil. Dibawa ke Puslabfor Bareskrim Polri untuk diperiksa,” kata Ita, seraya mengimbuh pihaknya masih menyelidiki kasus tersebut dan meminta keterangan sejumlah saksi.

Di sisi lain, kasus tewasnya tujuh pekerja dan warga ini menjadi tamparan keras. Berbagai kalangan mempertanyakan pengawasan pemerintah daerah terhadap dunia industri dan keselamatan kerja. Terutama pabrik-pabrik di kawasan pedalaman Bogor yang kerap kali terjadi kecelakaan hingga menimbulkan korban jiwa.

Pengamat kebijakan publik Yusfitriadi menilai Pemerintah Kabupaten Bogor sangat lemah dalam menata kelola perusahaan-perusahaan di Bumi Tegar Beriman. Mulai sistem keselamatan kerja hingga pengolahan limbah industri.

“Contoh yang pernah saya lihat, limbah pengolahan kelapa sawit di Cigudeg yang merusak lingkungan, bahkan dibuang ke jalan. Itu menimbulkan bau busuk yang sangat menyengat. Pengawasan pemerintah dimana?” ujar pria yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STKIP) Muhammadiyah Bogor.

Terkait kasus keracunan gas di Parungpanjang, Yus menilai perusahaan lalai dan sangat tidak memperhatikan jaminan kese­lamatan para tenaga kerja. Termasuk ketidakjelasan SOP perusahaan dalam memi­nimalisasi kecelakaan kerja. “Dengan melihat kronologisnya, sangat memprihatinkan,” kata Yus.

Aktivis di wilayah barat Kabu­paten Bogor ini berharap polisi mendalami dengan memeriksa perusahaan tersebut supaya tidak lagi jatuh korban. Juga sebagai shock therapy bagi pelaku-pelaku usaha lainnya untuk memper­hatikan nasib karyawan dan masyarakat sekitar.

“Jangan segan untuk menutup perusahaan tersebut jika memang terbukti ditemukan kelalaian dan melanggar ketentuan pelaku usaha. Musibah ini harus menjadi pelajaran dan momentum untuk pemerintah daerah agar kembali menata kelola para pelaku usaha,” tegasnya.

Terlebih, Ketua RT di lingkungan pabrik, Suparta, mengatakan pabrik milik H. Abak Wartawijaya di Kampung Cibunar, Desa Cibunar, Parungpanjang itu belum melengkapi perizinan. “Baru dibangun enam bulan lalu. Baru minta izin lingkungan. Suratnya tanggal 20 September kemarin saya terima,” kata Suparta. Sementara karyawan di pabrik pembuatan wadah telur itu merupakan warga setempat dan mayoritas masih ada pertalian keluarga.

Di bagian lain, suasana duka masih menyelimuti kediaman Iis (45), istri almarhum Syamsuri, salah seorang korban keracunan gas di Kampung Cibunar, Desa Cibunar, Kecamatan Parung­panjang. Ibu tiga anak itu masih tak menyangka suaminya telah tiada. “Masih serasa mimpi bapak sudah nggak ada.

Padahal kemarin masih saya buatkan kopi dan salat bareng. Masih ngobrol sama bapak,” kata Iis, ditemui Radar Bogor di kediamannya, Kampung Cibunar RT 03/04, Desa Cibunar.

Iis mengaku tak mendapat firasat apa pun sebelum suaminya meninggal. Kini ia harus berjuang sendiri membesarkan anak-anaknya. “Saya kaget, anak-anak juga kaget bapak lebih dulu dipanggil menghadap Allah,” ujarnya.

Masih terbayang dalam ingatan Iis, detik-detik suaminya sebelum menghadap Sang Pencipta. Sore itu (30/9), ia dan Syamsuri mendengar suara teriakan minta tolong dari pabrik yang tak jauh dari rumahnya. Seketika, Syamsuri berlari menuju lokasi. “Tolong-tolong. Itu-itu, Iwan, Dadi, Mas Joko kecebur bak nggak sadar. Tolong itu tolong,” kata Iis menirukan korban Ade Setiawan, ketika meminta pertolongan suaminya.

Setelah itu, Iis tak tahu lagi nasib suaminya. Sampai ada warga yang memberi tahu bahwa suaminya turut menjadi korban dan sekarat. “Saya dapat informasi bapak tidak sadarkan diri. Saya langsung panik. Bapak terus dibawa ke puskesmas. Saya ikut, tapi bapak sudah meninggal,” kenangnya.

Tragis memang. Seperti diberitakan sebelumnya, kolam atau bak penampungan bahan trey (karton wadah telur) di Kampung Cibunar Parung­panjang, menelan korban. Iwan, pekerja di pabrik tersebut tewas akibat menghirup gas beracun di dalam bak. Beberapa rekan korban dan warga yang hendak menolong dengan turun ke bak, juga turut menjadi korban meninggal. Sehingga total korban tewas akibat menghirup gas beracun tersebut menjadi tujuh orang.

Peristiwa itu bermula saat Iwan, pekerja di pabrik hendak menguras bak penampungan sedalam empat meter. Tak lama kemudian, Iwan pingsan dan diketahui rekannya Ahmad Holil.

Melihat temannya pingsan di bak penampungan, Holil panik dan berteriak minta tolong. Para pekerja beserta warga sekitar yang mendengar teriakan Holil berusaha menolong korban dengan masuk ke dalam bak. Selain Iwan, korban tewas dalam peristiwa ini adalah Mulyadi (19) asal Serang, Joko (30) asal Surabaya, serta warga sekitar yakni Ade Setiawan (40), Dedi Junaedi (45), Samsuri (45) dan Into.(all/d)