25 radar bogor

Inflasi Bogor Lampaui Nasional

BOGOR–Naiknya sejumlah tarif dan harga komoditas bahan pokok, membuat inflasi di Kota Bogor terus meroket. Data terbaru menyebutkan, inflasi Kota Bogor sepanjang Agustus 2017 mencapai 2,85 persen. Lebih tinggi dari inflasi Jawa Barat 2,66 persen dan inflasi nasional 2,53 persen. Kota ini bahkan menjadi salah satu penyumbang inflasi tertinggi di Jawa Barat.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat (FKPI) Wiwik SW menuturkan, tingginya inflasi masih disebabkan beberapa komponen administered prize atau harga yang diatur pemerintah. Di antaranya, tarif listrif serta biaya administrasi STNK dan BPKP.

“Pencabutan subsidi listrik 900 VA ditengarai membuat biaya listrik naik,” ujar Wiwik seusai menghadiri High Level Meeting (HLM) Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Kota Bogor, di Paseban Sri Bima, Balaikota, kemarin (19/9).

Selain tarif listrik, kenaikan inflasi Kota Bogor juga disebabkan kenaikan harga komoditas bahan pokok, seperti kenaikan beras, bawang merah dan cabai. “Karenanya, kita akan melihat bagaimana Pemkot Bogor menekan inflasi. Terutama ke depannya, masih tersisa empat bulan sampai Desember, karena potensi tekanan masih ada. Jangan terlalu tinggi dan naik berlebihan,” bebernya.

Inflasi sebesar 2,85 persen relatif tinggi atau tidak, sambung Wiwik, tergantung dengan pembandingnya. Jika dibanding­kan Jabar yang hanya 2,66 persen, tentunya lebih tinggi. Tapi jika dibandingkan Kota Depok, Kota Cirebon, lebih rendah.

“Nah, yang menjadi isunya adalah kalau inflasi Jabar 10 persen merupakan kontribusi Kota Bogor, apa yang akan dilakukan. Ini harus dicarikan caranya. Semisalnya, melakukan monitoring menggunakan aplikasi yang bernama Priangan,” jelasnya.

Dia menilai, Kota Bogor cenderung malas melaporkan update harga ke aplikasi Priangan, yang seharusnya per hari malah per bulan. TPID Kota Bogor juga, menurutnya, kurang sigap. Jika per hari update harga, setidaknya bila terjadi kenaikan bisa langsung diatasi.

Supaya keesokan harinya harga bisa kembali stabil. “Misalnya, terigu dari mana, sehingga harganya besok turun lagi. Ini yang kita lakukan setiap hari,” ucap dia.

Menanggapi itu, Sekretaris TPID Kota Bogor Tri Irijanto mengatakan, berdasarkan rapat HLM, ada beberapa rencana aksi ke depan untuk menekan inflasi. Salah satunya, meningkatkan entri data. Karena terungkap bahwa antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Bogor dengan PD Pasar Pakuan Jaya (PD-PPJ) mengeluarkan data yang berbeda-beda.

“Jadi, agar sinkron harus satu kesatuan. Saat melaporkan, Disperindag dan PD-PPJ bisa satu paham dan satu harga. Terkadang, keduanya mengeluarkan harga berbeda-beda. Yang satu per dua minggu, satunya lagi per tiga minggu, beda-beda. Padahal kan harga tiap harinya juga berbeda-beda. Solusinya, kita akan duduk berembuk, samakan persepsi. Jadi, per hari update data laporannya,” imbuh Tri.

Setidaknya, kata dia, ada beberapa poin yang diperhatikan masalah tingginya inflasi ini. Di antaranya, memperhatikan kelangkaan barang di pasar. Salah satu agar tidak langka adalah melakukan kerja sama dengan daerah produsen.

“Misalkan, bawang langka, kerja sama dengan Brebes untuk mengirim bawang. Jadi, saat harga naik, barangnya enggak ada, tapi karena sudah kerja sama, tinggal menghubungi daerah tersebut. Mudah-mudahan bisa terealisasi tahun ini,” ungkapnya.

Ternyata, sambung Tri, tingginya inflasi tidak hanya dari harga pangan, melainkan dari kebijakan pemerintah. Seperti, kenaikan BBM dan listrik. Termasuk bulan-bulan di mana biaya pendi­dikan meningkat, saat masuk sekolah dan keperluan lainnya. Sebab, dengan banyak­nya orang masuk sekolah, inflasi jadi tinggi. Tapi, yang paling besar di bahan makanan.

“Kota Bogor juga penyumbang 10 persen inflasi di Jabar. Hal itu tidak lain karena kota ini bukan penghasil, melainkan kota jasa. Bawang, cabai dan lain-lainnya semua dipasok dari luar daerah. Solusinya adalah kita harus kerja sama dengan daerah lain,” tandasnya.(wil/c)