25 radar bogor

Mirip Tragedi ’’Gladiator’’ Hilarius

AKSI bullying dan penganiayaan terhadap LJ, siswa SMAN 7 Kota Bogor, mengingatkan kita pada kasus tewasnya siswa kelas X SMA Budi Mulya, Hilarius Christian Event Raharjo, awal 2016 silam. Keduanya dianiaya di lokasi dan dengan metode yang hampir sama, lapangan sepi di kawasan Indraprasta.

Bersamaan dengan mencuatnya kasus penyiksaan LJ, ibunda almarhum Hilarius, Maria Agnes, menulis keluh kesah di akun Facebook miliknya. Maria curhat dan mengadu kepada Presiden Joko Widodo, Selasa (12/9), menuntut keadilan atas kematian putranya akibat kebrutalan oknum pelajar. Tulisan Maria kemudian viral dan sudah dibagikan ulang lebih dari 11 ribu kali.

Radar Bogor pernah menulis laporan mendalam terkait peristiwa duel ala gladiator yang menyebabkan tewasnya Hilarius, Februari 2016. Aksi duel itu diketahui sebagai modifikasi aksi tawuran, dan dikhususkan untuk pelajar ”elite’’. Tapi jangan salah, perkelahiannya juga menjadi lebih sadis.

Di kalangan mereka, pertarungan itu berjuluk Bom-boman. Caranya, perkelahian dengan tangan kosong yang melibatkan lima melawan lima. Seperti banyak kejadian tawuran lainnya, tradisi seperti ini kerap kali dipicu desakan dari para alumnus kedua sekolah. Biasanya, ritual tahunan ini berlangsung ketika akan menghadapi sebuah event kompetisi olahraga bergengsi.

Dari penuturan saksi-saksi saat itu, korban Hilarius yang berperawakan tinggi besar, berulang kali menolak paksaan seniornya untuk memasuki ring bom-boman. Namun, entah bagaimana, akhirnya Hilarius pun memberanikan diri masuk ke dalam tim untuk melawan tim lawan.

“Jadi, saat baru mau mulai bom-boman, Hilarius memang sudah keliatan lemas. Dan waktu berantem, dia ditonjok kenceng ulu hatinya, terus dibanting sama teman saya kelas BV (16),” ujar seorang saksi kepada Radar Bogor saat itu.

Setelah terlihat kejang tak berdaya, lanjutnya, akhirnya bom-boman dihentikan. Hilarius pun dibawa ke rumah sakit terdekat dengan meng­gunakan mobil temannya. “Saat itu, katanya, HL sudah meninggal di mobil, tapi tetap dibawa ke RS Azra Pajajaran. Habis anter, alumninya langsung kabur,” paparnya.

Keesokan harinya, ketika pihak guru mengetahui kasus tersebut, mereka yang menonton mendapatkan skorsing selama empat hari dan dipanggil orang tuanya. Untuk empat anak yang ikut bom-boman, mereka langsung di-DO.

Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bogor baru mengetahuinya setelah sang ibu Hilarius, Ciecilia datang melapor pada Senin (22/2).

“Jadi, setiap anak yang ikut nonton bom-boman, orang tuanya dimintai Rp1 juta. Untuk kebutuhan pengurusan dan pemulasaran jenazah HL,” tuturnya.

Sementara, salah satu teman gereja Katholik Hilarius, DB (15) yang bersekolah di SMK Grafika MY mengatakan, sebelum ajal menjemput rekannya, dia sempat menerima pesan terakhir. “Dia sempet chat ’gua ga kuat liat anak MY banyak banget’ waktu pas ngeliat rombongan lawan,” ujarnya.

Kembali ke curhatan sang ibunda Hilarius, Maria Agnes, ia meminta Presiden Jokowi menyempurnakan peraturan hukum untuk kekerasan yang mengakibatkan putranya meninggal dunia. “Biar mereka pembunuhnya masih di bawah umur, tapi akibatnya tetap sama, hilang nyawa orang lain. Saya sedih dan hancur Bapak Presiden, mohon Bapak membantu saya untuk solusi keadilan,” tutup Maria.

Maria pun mengeluhkan pihak sekolah yang tidak melapor ke Dinas Pendidikan bahwa ada siswa yang meninggal karena diadu seperti gladiator. Akhirnya, dialah yang bergerak mengadu ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, KPAI, hingga anggota DPR dan DPRD.

“Saya masih terus berjuang, Pak. Entah sampai kapan saya berjuang dan terus tersiksa seperti ini, Pak Presiden,” ungkap Maria Agnes.

Dikonfirmasi soal ini, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menyebut kasus tawuran ala gladiator itu sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Ada sanksi dari sekolah ke pelaku.

“Pelaku dikeluarkan dari sekolah,” kata Bima. Bima juga menyebut, keluarga korban kala itu menolak jenazah Hilarius diautopsi.
“Disdik mengetahui kejadian itu setelah beberapa hari setelah kejadian, pihak sekolah dan keluarga tidak menyampaikan laporan tentang kejadian itu,” jelasnya.

Di lain tempat, Sekjen Peradi Sugeng Teguh Santoso mengaku mendapatkan permintaan untuk membantu menangani kasus tersebut yang dinilainya mengerikan. Harus segera diredam dan dicari penyele­saiannya.

“Yang meminta bantuan adalah kenalan bu Maria Agnes, makanya saya akan meng­hubungi bu Maria Agnes. Karena untuk melakukan advokasi, saya harus men­dapatkan kewenangan langsung itu,” kata dia.

Sugeng mengatakan, kasus ini harus dibongkar dan bukan termasuk delik aduan. Artinya, polisi harus menyelidiki. Meski peristiwanya terjadi dua tahun silam, masih bisa tetap dibongkar.

Sementara itu, Kapolsek Bogor Utara Polresta Bogor Kota, Kompol Wawan Wahyudin, mengaku siap membuka kasus ini kembali, asalkan keluarga korban kooperatif.

“Semua yang terlibat, yang menyaksikan kejadian itu akan dimintai keterangan,” ujarnya kepada pewarta. Kapolsek minta diberi waktu untuk mengusut kembali kasus itu. “Beri saya waktu. Dalam waktu yang tak lama, akan ada perkembangan kasus ini,” tegasnya.(wil/dok/d)